Politisi PKS: Luhut Kurang Galak ke Freeport yang Tak Kunjung Bangun Smelter
Ilustrasi. (Foto: Freeport Indonesia)

Bagikan:

JAKARTA - Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi PKS, Mulyanto menyesalkan sikap PT Freeport Indonesia (PTFI) yang terkesan mengabaikan kewajiban pembangunan smelter sebagai syarat mendapatkan perpanjangan izin operasional dan izin ekspor konsentrat tembaga.

Menurut Mulyanto, kewajiban membangun smelter bagi perusahaan tambang adalah amanat UU yang harus dipatuhi bersama.

"Jadi sangat tidak pantas jika pihak PTFI mencoba menawar ketentuan UU yang sudah disahkan dan diberlakukan. Tekait kewajiban pembangunan smelter yang diatur dalam UU No.3/2020 tentang Minerba bagi perusahaan tambang tembaga, sepantasnya tidak ditawar-tawar lagi. Proses pembentukan dan pengesahan UU tersebut sudah lewat. Kini saatnya kita melaksanakan UU tersebut secara konsekuen dan bertanggung-jawab," ujar Mulyanto dalam keterangan tertulisnya, yang dikutip Selasa 3 November.

Menurut Mulyanto pemerintah harus tegas mengingatkan PTFI tentang kewajiban pembangunan smelter tersebut. Pembangunan smelter ini adalah kewajiban UU, obligasi bagi setiap elemen masyarakat kepada Negara, bukan tawar menawar bisnis yang bersifat horizontal.

"Ini adalah soal hubungan vertikal-struktural antara unsur-unsur masyarakat dengan Negara, sebagai wujud pelaksanaan konstitusi kita. Karenanya harus dimengerti, bahwa itu tidak bersifat tawar-menawar, namun mengikat (binding) dan memaksa (compulsary). Kita kan Negara hukum. Semestinya PTFI menghormati UU yang berlaku di negeri ini.  Jangan menganggap semua hal sebagai urusan dagang yang bisa dinegosiasikan. Ini adalah fakta, rule of the game, bila ingin hidup di Indonesia," ujar Wakil Ketua Fraksi PKS Bidang Industri dan Pembangunan ini.

Apalagi sejak akhir tahun 2018, lanjutnya, mayoritas saham PTFI sebanyak 51 persen adalah milik Pemerintah Indonesia.

"Jadi secara teoritis ini adalah BUMN kita. Karenanya menjadi tidak masuk akal kalau BUMN ingin menabrak UU. Ini preseden buruk bagi tata kelola pengusahaan sumber daya alam di Indonesia," tuturnya.

Menurut saya ini sudah kelewatan. Saya protes keras. Sebab UU dibuat untuk dipatuhi oleh kita bersama, bukan dianggap 'sebagai angin lalu'. Ini benar-benar melecehkan Indonesia sebagai Negara hukum. Menko Marves Luhut PanDjaitan juga terkesan hanya galak pada smelter nikel. Tidak terdengar suaranya terkait dengan smelter tembaga PTFI ini," imbuh Mulyanto.

Mulyanto menyorot kemajuan proyek pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) baru PTFI yang hingga bulan Juli 2020 baru mencapai 5,86 persen dari target seharusnya 10,5 persen.

Menurut Mulyanto, pemerintah mestinya konsisten dengan aturan yang dibuat yakni bersikap tegas dan menjatuhkan sanksi kepada PTFI karena lalai mematuhi target kemajuan pembangunan smelter.

Mulyanto menyoroti pelaksanaan Surat Keputusan Menteri ESDM No.154 K/30/ MEM/2019, tentang ketentuan kemajuan fisik pembangunan smelter yang paling sedikit 90% dari target yang ada.

"Bila tidak tercapai maka Pemerintah berhak menjatuhkan sanksi penghentian sementara persetujuan ekspor konsentrat. Selain itu, perusahaan smelter wajib membayar denda administratif sebesar 20 persen dari nilai kumulatif penjualan mineral ke luar negeri selama enam bulan terakhir. Serta beberapa sanksi administratif lainnya," ungkapnya.

Menurut Mulyanto, hitungan kasar pencapaian kemajuan fisik smelter Freeport masih di bawah 50 persen. Karenanya sanksi itu harus segera diputuskan Pemerintah.

"Ini penting. Kalau pemerintah bersikap lembek dan tidak konsisten terhadap aturan yang ada, jangan heran kalau pengusaha tambang, ogah-ogahan dalam membangun fasilitas ini dan menuntut untuk dapat mengekspor konsentrat," ujarnya.

Terang-terangan Mau Melanggar

Bahkan, kata Mulyanto, Freeport secara berani dan terang-terangan melempar wacana untuk melanggar UU No.3/2020, dengan mengusulkan penundaan target pembangunan smelter melebihi batas waktu yang ditetapkan UU, yakni tahun 2023.

"Sebelumnya pelanggaran UU ini diajukan dengan alasan musibah COVID-19. Kemudian muncul alasan baru, bahwa pembangunan smelter adalah proyek rugi. Inikan sungguh lugas secara terbuka melawan UU," kata Mulyanto.

"Kita sudah hafal dengan gaya ini. Karena sudah ada preseden sebelumnya. Pelanggaran UU No.4/2009 pertama kali dilakukan PTFI tahun 2014 dengan tetap mengekspor konsentrat dan itu berlanjut sampai tahun 2018, padahal amanat UU No.4/2009, smelter harus beroperasi tahun 2014," ungkapnya.

Pada tahun 2018, imbuh Mulyanto, salah satu syarat bagi PTFI untuk mendapatkan perpanjangan dan perubahan skema dari kontrak karya (KK) menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK) adalah pembangunan smelter. Nyatanya hingga hari ini syarat juga tidak dipenuhi. Sekarang PTFI minta relaksasi kembali untuk melanggar UU No.3/2020.

"Karenanya saya mendesak pemerintah untuk tegas melaksanakan dan mengawal amanat UU No. 3/2020 sebagai perubahan atas UU No.4/2009 tentang Minerba, khususnya pasal 170A. Pemerintah jangan lembek, apalagi ikut melanggar UU tersebut," pungkas Mulyanto.