JAKARTA - Proyek pengembangan robotic surgery di Indonesia masih dihadapkan pada tantangan di sektor pendanaan hingga kepercayaan publik untuk mengakses layanan.
"Payung hukum untuk pengembangan robotic surgery diatur dalam ketentuan telemedisin di Indonesia. Kalau ada kegagalan akibat peralatan maupun gangguan transmisi teknologi informasi, itu yang masih belum disiapkan," kata Staf Khusus Menteri Kesehatan Bidang Ketahanan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan, Laksono Trisnantoro yang diwawancara via Zoom di Jakarta, Antara, Kamis, 30 Juni.
Robotic surgery adalah cara pembedahan melalui bantuan alat robotik. Tangan pembedah mengendalikan console, lalu mesin akan menerjemahkan gerakan tangan pembedah, ke lengan robot di tubuh pasien melalui alat remote.
Ia mengatakan sejumlah negara maju yang telah mengimplementasikan bedah menggunakan perangkat robot, seperti di Amerika Serikat, Swedia serta Iran, masih membahas terkait payung hukum yang mengatur tentang tanggung jawab saat terjadi malapraktik.
Sebagai contoh, kemampuan robotic surgery sangat bergantung pada frekuensi jaringan teknologi informasi atau bandwidth yang disediakan operator telekomunikasi. Saat frekuensi itu terputus sekian detik saja, bukan tidak mungkin bisa berakibat fatal pada pasien yang menjalani bedah.
"Di Amerika Serikat, masih dibahas siapa yang tanggung jawab atas kelalaian itu, apakah dari pihak produsen robot atau dokternya. Selain itu, apakah operator robotnya juga perlu izin praktik?," katanya.
Untuk itu, kata Laksono, pemerintah perlu mempersiapkan payung hukum yang kuat dalam mengatur implementasi proyek robotic surgery di Indonesia untuk meningkatkan kepercayaan publik pada perangkat robot bedah.
Laksono juga menyorot tantangan dari sektor pembiayaan proyek multi tahun itu. Biaya robotic surgery lebih tinggi dibandingkan operasi konvensional, pun dokter bedahnya memerlukan keahlian khusus melalui pelatihan tambahan.
Sebagai gambaran, satu unit perangkat robot bedah impor dibanderol Rp10 miliar per unit untuk ditempatkan di berbagai rumah sakit vertikal di bawah Kementerian Kesehatan di daerah. "intinya, dalam kebijakan publik adalah pemerataan pelayanan dan teknologi. Indonesia harus bisa mengejar itu," katanya.
Dokter Ahli Bedah Robotik RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung Reno Rudiman mengatakan robot bedah di Indonesia saat ini tersedia secara terbatas, di antaranya dimiliki RS Hasan Sadikin Bandung bernama Robot Sina hasil impor dari Iran, RS Bunda bernama Robot Da Vinci, dan di RSUP Dr Sardjito Yogyakarta.
"Robot Da Vinci harga (pelayanan bedah) lebih mahal, makanya digunakan pada pasien yang mampu bayar. Biayanya 200 persen (lebih tinggi) dari operasi konvensional," kata Reno yang juga seorang operator Robot Da Vinci RS Bunda.
Sementara perawatan bedah menggunakan Robot Sina diklaim membutuhkan biaya yang sedikit lebih tinggi dari praktik bedah konvensional.
"Apalagi kalau nanti sudah ada komponen lokal. Ke depan akan ada alih teknologi, tapi tetap harus ada sertifikasi sehingga beda tipis dengan teleskopik konvensional," katanya.
Kemenkes juga mempersiapkan skema pembiayaan robotic surgery melalui program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) BPJS Kesehatan saat seluruh persiapan proyek telah rampung.
Proyek pengembangan robotic surgery yang ditargetkan rampung di Indonesia paling lambat 2025 itu masih memerlukan kerja sama serius dengan perusahaan penyedia perangkat telekomunikasi.
BACA JUGA:
"Tantangan terbesar adalah kerja sama dengan telekomunikasi untuk sediakan jaringan yang andal," katanya.