Bagikan:

NTB - Sekretaris Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) Lalu Gita Ariadi mengatakan informasi tentang isu penyusunan RUU Pemekaran Daerah di Provinsi NTB menjadi dua wilayah adalah hoaks.

"Hari-hari terakhir ini beredar berita di media sosial tentang rencana DPR RI membahas dan akan mengesahkan lima RUU Pemekaran Daerah. Termasuk Provinsi NTB akan menjadi dua dengan terbentuknya Provinsi Pulau Sumbawa. Rasanya berita tersebut prematur dan menjurus hoaks," ujarnya di Mataram, Minggu 26 Juni.

Ia mengatakan, memang beberapa waktu yang lalu, anggota DPR RI Komisi II kunjungan kerja (kunker) antara lain ke NTB. Tujuan kunker adalah sosialisasi hak inisiatif dewan untuk bentuk 13 RUU termasuk menyerap aspirasi tentang pembuatan RUU Provinsi NTB.

Untuk itu, lanjut Sekda, bahwa substansi-nya bukan pemekaran tapi penyesuaian dasar pembentukan Provinsi NTB dan penyesuaian kondisi aktual yang dipandang perlu.

"Apalagi selama ini, NTB bersama Bali dan NTT dibentuk dengan Undang-undang 64/1958," terang Sekda.

Karena menurutnya, bahwa pada 5 Juli 1959, keluar Dekrit Presiden untuk kembali ke Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Sedangkan UU 64/1958, yang lahir sebelum Dekrit Presiden mengacu pada Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) saat Republik Indonesia Serikat (RIS).

"Hal tersebut dinilai bernuansa federalistik yang tidak sesuai dengan UUD 1945. Karenanya dipandang perlu untuk disesuaikan," tambah Miq Gite sapaan akrabnya.

Selain kawasan Sunda Kecil, kawasan Sulawesi dan Kalimantan juga dibentuk dalam suasana kebatinan yang sama, sehingga DPR menginisiasi 13 RUU dasar pembentukan masing-masing provinsi dan disesuaikan dengan kondisi terkini.

"Jadi, bukan RUU Pemekaran. Karena Pemekaran Daerah Otonomi Baru (DOB) masih moratorium," tegas pria kelahiran Lombok Tengah ini.

Untuk itu sambungnya, kalaupun provinsi di Papua dimekarkan dari kini, maka dua provinsi menjadi lima, bukan berarti moratorium DOB di cabut. Pemekaran Papua ini antara lain adalah amanat UU No 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Papua.

"Ini harus diluruskan, agar tidak menimbulkan disinformasi di tengah masyarakat," tandasnya.