JAKARTA - Partai NasDem sudah menentukan tiga nama yang bakal diusung sebagai calon presiden pada Pilpres 2024. Yakni, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa, dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo.
Namun, langkah partai besutan Surya Paloh itu ternyata menuai sindiran. NasDem seperti 'partai ojek' lantaran mengangkut tokoh di luar partainya bahkan salah satunya merupakan kader parpol lain.
Pengamat Politik sekaligus Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago menilai keserentakan Pileg, Pilpres, dan Pilkada 2024 nanti akan menunjukkan kualitas mana yang partai kader, partai populis, dan partai transaksional pragmatis.
Menurutnya, nanti akan terlihat mana yang menjadi partai “ojek politik”. Di mana hanya menghantarkan calon non partai atau mendukung kader partai lain untuk maju kontestasi elektoral.
Misalnya saja Partai NasDem yang mengusung Anies Baswedan, kata Pangi, ada hipotesis yang menyatakan hal tersebut akan ikut memberi pengaruh terhadap elektabilitas Partai NasDem (coattail effect).
"Namun pada saat yang sama, sayangnya itu sekaligus membuktikan Partai NasDem gagal melakukan kaderisasi karena tidak mampu menghasilkan calon yang berasal dari kader internal NasDem sendiri (tradisi meritokrasi)," ujar Pangi dalam keterangannya yang diterima VOI, Kamis, 23 Juni.
Menurut Pangi, partai ojek politik mungkin pantas disematkan kepada NasDem. Sebab dalam konteks ini, partai tersebut bisanya jadi penghantar saja, karena hanya bisa mengusung tokoh eksternal maju di Pilpres atau Pilkada.
"NasDem dinilai jadi partai yang belum berhasil menelurkan kader terbaik untuk maju dalam kontes nasional,” katanya.
Pangi menjelaskan tiga tokoh yang muncul sebagai rekomendasi dari Partai NasDem bakal calon presiden yang akan diusung dalam Pilpres 2024 mendatang yakni Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Panglima TNI Jenderal TNI Andika Perkasa, dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo.
“Anies bukan kader partai manapun, dan Panglima TNI aktif Jenderal Andika Perkasa bukan kader Partai Nasdem serta Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo kader partai PDIP, lalu kok kenapa bukan kader NasDem yang diusung,” tegasnya.
BACA JUGA:
Seperti “Ojek”, lanjut Pangi, ketika seorang tokoh berhasil maju dan dihantarkan pada kursi orang nomor satu pada Pilpres atau Pilkada tentu ini tidak baik bagi partai itu sendiri. Belum lagi kalau ada deal-deal tertentu dengan calon-calon yang diusung nantinya.
“Kan mirip ojek. Setelah diantarkan ke kursi Presiden atau kursi kepala daerah, lalu dapat deal-deal. Setelah itu bisa aja pada periode berikutnya pakai partai ojek politik yang sama atau pake partai ojek politik lainnya tanpa harus jadi kader, tanpa harus mengakar di partai. Ini bahaya sekali bagi demokrasi,” bebernya.
Pangi pun mempertanyakan apa guna partai jika yang didukung non partai atau kader partai lain. Mungkin, kata dia, itu makna partai ojek politik bagi NasDem.
“Lama-lama orang akan bilang ngapain masuk parpol (deparpolisasi) kalau gampang jadi capres atau kepala daerah tanpa harus jadi kader partai yang mengakar. Hanya bermodal racikan elektoral, modal logistik semata dengan gampang “overconfidence” dicalonkan menjadi capres oleh partai politik," pungkasnya.