Tok! Pengadilan Osaka Sebut Larangan Pernikahan Sesama Jenis Tidak Inkonstitusional
Ilustrasi LGBT. (Wikimedia Commons/Jordy91 at English Wikipedia)

Bagikan:

JAKARTA - Sebuah pengadilan di Jepang memutuskan larangan pernikahan sesama jenis bukanlah inkonstitusional, yang merupakan kemunduran bagi aktivis hak-hak LGBTQ di satu-satunya negara Kelompok Tujuh (G7) yang tidak mengizinkan orang dengan jenis kelamin yang sama untuk menikah, Hari Senin.

Putusan itu menghancurkan harapan para aktivis untuk meningkatkan tekanan pada pemerintah pusat untuk mengatasi masalah ini, setelah pengadilan di Kota Sapporo pada Maret 2021 memutuskan mendukung klaim, tidak mengizinkan pernikahan sesama jenis adalah inkonstitusional.

Tiga pasangan sesama jenis, dua laki-laki, satu perempuan, telah mengajukan kasus ini di pengadilan distrik di Osaka, pengadilan kedua yang menyidangkan tentang masalah ini di Jepang.

Selain menolak klaim mereka bahwa tidak dapat menikah adalah inkonstitusional, pengadilan menolak tuntutan mereka untuk ganti rugi 1 juta yen untuk setiap pasangan.

"Saya sebenarnya bertanya-tanya apakah sistem hukum di negara ini benar-benar berfungsi," kata penggugat Machi Sakata, yang menikahi pasangannya yang berkewarganegaraan AS di Amerika Serikat, mengharapkan bayi pada Bulan Agustus, melansir Reuters 20 Juni.

"Saya pikir ada kemungkinan keputusan ini benar-benar menyudutkan kami," kata Sakata.

Konstitusi Jepang mendefinisikan pernikahan sebagai berdasarkan "kesepakatan bersama dari kedua jenis kelamin". Tetapi, pengenalan hak kemitraan untuk pasangan sesama jenis di Tokyo minggu lalu, bersama dengan meningkatnya dukungan dalam jajak pendapat, telah meningkatkan harapan para aktivis dan pengacara untuk kasus Osaka.

Sementara itu, Pengadilan Osaka mengatakan pernikahan didefinisikan hanya antara lawan jenis dan tidak cukup banyak perdebatan, tentang pernikahan sesama jenis yang terjadi di masyarakat Jepang.

"Kami menekankan dalam kasus ini, kami ingin pasangan sesama jenis memiliki akses ke hal yang sama seperti pasangan biasa," terang pengacara Akiyoshi Miwa, menambahkan bahwa mereka akan mengajukan banding.

Diketahui, hukum Jepang dianggap relatif liberal di beberapa daerah menurut standar Asia, tetapi di seluruh benua hanya Taiwan yang melegalkan pernikahan sesama jenis.

Di bawah aturan saat ini di Jepang, anggota pasangan sesama jenis tidak diizinkan untuk menikah secara sah, tidak dapat mewarisi aset satu sama lain, seperti rumah yang mungkin mereka miliki bersama, dan juga tidak memiliki hak orang tua atas anak masing-masing.

Meskipun sertifikat kemitraan yang dikeluarkan oleh beberapa kota membantu pasangan sesama jenis menyewa properti bersama dan memiliki hak kunjungan rumah sakit, mereka tidak memberi mereka hak hukum penuh yang dinikmati oleh pasangan heteroseksual.

Pekan lalu, Pemerintah Prefektur Tokyo mengesahkan undang-undang untuk mengakui perjanjian kemitraan sesama jenis, yang berarti pemerintah daerah yang mencakup lebih dari setengah populasi Jepang sekarang menawarkan pengakuan tersebut.

Meski Perdana Menteri Fumio Kishida mengatakan masalah itu perlu dipertimbangkan dengan hati-hati, Partai Demokrat Liberal yang berkuasa telah mengungkapkan tidak ada rencana untuk meninjau masalah tersebut atau mengusulkan undang-undang, meskipun beberapa anggota senior partai mendukung reformasi.

Kasus yang akan datang di Tokyo akan membuat debat publik tetap hidup tentang masalah ini, khususnya di ibu kota, di mana sebuah jajak pendapat oleh pemerintah daerah akhir tahun lalu, menemukan sekitar 70 persen orang mendukung pernikahan sesama jenis.

Melegalkan pernikahan sesama jenis akan memiliki implikasi luas baik secara sosial maupun ekonomi, kata para aktivis, dan akan membantu menarik perusahaan asing ke ekonomi terbesar ketiga di dunia itu.

"Perusahaan internasional sedang meninjau strategi Asia mereka dan inklusivitas LGBTQ menjadi topik," ujar Masa Yanagisawa, kepala layanan utama di Goldman Sachs dan anggota dewan dari kelompok aktivis Pernikahan untuk seluruh Jepang, berbicara sebelum putusan.

"Bisnis internasional tidak ingin berinvestasi di lokasi yang tidak ramah LGBTQ," pungkasnya.