JAMBI - Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jambi menggelar sidang perkara korupsi dana BUMDes Desa Olak Besar, Kabupaten Batanghari, yang merugikan negara Rp150 juta, secara in absentia atau tanpa dihadiri terdakwa Direktur BUMDes Muhammad Atiq.
Kasi Penerangan Hukum Kejati Jambi Lexy Fatharani mengatakan jaksa penuntut umum telah membacakan surat dakwaan terdakwa Muhammad Atiq di hadapan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor tanpa dihadiri terdakwa.
Perkara tersebut berawal ketika BUMDes Snapu Jaya Desa Olak Besar menerima penyertaan modal Rp262 juta. Akan tetapi, oleh Direktur BUMDes Snapu Jaya, Muhammad Atiq, dana itu digunakan untuk kepentingan pribadi, yakni usaha pengiriman (DO) buah sawit dengan menyetor keuntungan rutin tiap bulan.
Hasil audit Inspektorat Daerah menyebutkan penggunaan uang BUMDes Snapu Jaya tidak sesuai peruntukannya sehingga merugikan keuangan negara sekitar Rp150 juta.
Sejak kasus tersebut terungkap, sampai kini Atiq tidak pernah datang memenuhi panggilan penegak hukum, mulai pemeriksaan di kejaksaan, pelimpahan berkas perkara ke pengadilan, hingga di persidangan sehingga perkaranya disidangkan secara in absentia.
"Sidang secara in absentia tersebut sudah sesuai Pasal 38 Ayat (1) serta memperhatikan tidak kooperatifnya terdakwa Muhammad Atiq. Kami juga masih berupaya menangkapnya karena tersangka masuk dalam DPO (daftar pencarian orang)," kata Lexy dikutip Antara, Rabu, 8 Juni.
Persidangan perkara Muhammad Ariq, warga Kabupaten Batanghari, Jambi, digelar di Ruang Cakra Pengadilan Tipikor atas kasus korupsi Dana BUMDes Desa Olak Besar Kecamatan Batin XXIV Kabupaten Batanghari.
BACA JUGA:
Sidang tersebut dibuka oleh Ketua Majelis Hakim Yofistian dan hakim anggota Hiasinta Manalu serta Bernard Panjaitan, dengan agenda pembacaan dakwaan.
Jaksa Penuntut Umum Sakti Yuharbi membaca surat dakwaan tanpa kehadiran terdakwa. Sidang akan dilanjutkan kembali pada tanggal 15 Juni 2022 dengan agenda pemeriksaan saksi saksi.
Kasi Penerangan Hukum Kejati Jambi Lexy Fatharany menjelaskan jika sidang in absentia diatur UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan harus memenuhi persyaratan, antara lain, pelaku tidak kooperatif dalam proses hukum seperti tidak hadir dalam pemeriksaan tingkat penyidikan hingga penuntutan.