MATARAM - Jaksa Penuntut Umum (JPU) Pengadilan Negeri (PN) Tipikor Mataram menuntut Slamet Waloejo terdakwa kasus dugaan korupsi pembangunan dermaga Gili Air tahun 2017 dengan pidana 1,5 tahun penjara.
Slamet merupakan Direktur CV Karya Mahardika 97, konsultan pengawas proyek pembangunan dermaga di kawasan wisata Gili Air. JPU menyebutkan tuntutan menimbang perbuatan terdakwa sebagai direktur perusahaan konsultan pengawas telah memenuhi dakwaan subsidair.
"Dengan ini menuntut majelis hakim menjatuhkan pidana penjara kepada terdakwa selama 1,5 tahun penjara atau satu tahun enam bulan dengan pidana denda Rp50 juta subsider tiga bulan kurungan," kata JPU Ema Muliawati ke hadapan Majelis Hakim PN Tipikor Mataram, Selasa 7 Juni.
Dalam dakwaan subsidair itu menguraikan Pasal 3 Juncto Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 20/2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Namun demikian, menurut laporan Antara, Ema menyampaikan jaksa tidak menemukan fakta yang mengungkap adanya bukti terdakwa menikmati atau menerima dana yang bersumber dari anggaran negara tersebut, baik dari hasil pemeriksaan saksi maupun dokumen dalam penyertaan sidang.
Sehingga Pasal 18 ayat 1 huruf b Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam dakwaan subsidair yang mensyaratkan adanya pengembalian kerugian negara, jaksa penuntut umum meminta agar majelis hakim mengabaikan hal tersebut.
Selebihnya, jaksa menyampaikan pertimbangan yang meringankan tuntutan perihal itikad baik terdakwa dalam upaya pemulihan kerugian negara Rp782 juta berdasarkan hasil hitung ahli. Terdakwa menunjukkan itikad baik dengan menitipkan Rp50 juta ke jaksa.
Munculnya kerugian dari proyek pembangunan dermaga di kawasan wisata Gili Air pada Dinas Perhubungan, Kelautan, dan Perikanan Kabupaten Lombok Utara, Tahun Anggaran 2017, itu dibuktikan dari kajian ahli konstruksi. Ditemukan kurangnya volume pekerjaan dengan nilai pengganti kerugian senilai Rp98,138 juta.
Selain itu, dalam proyek fisik dengan nilai kontrak Rp6,28 miliar itu muncul kerugian lain, yakni dari kelebihan pembayaran yang meliputi tiga item. Nilainya mencapai Rp684,238 juta.
Slamet Waloejo yang memberi kuasa perusahaan kepada terdakwa lainnya, Luqmanul Hakim, turut terlibat dalam persetujuan perubahan volume pekerjaan pemancangan yang tidak berdasar pada kajian teknis maupun adenddum kontrak.
Luqmanul Hakim dan terdakwa Slamet Waloejo, Direktur CV Karya Mahardika 97, juga dinyatakan terbukti sebagai dalang penerbitan rekapitulasi kemajuan pekerjaan yang menyatakan telah mencapai bobot 100 persen, namun pada faktanya pekerjaan tersebut belum selesai.