Pengusaha Masih Merasa Kesulitan: Minta Relaksasi Kredit Diperpanjang hingga 2 Tahun
Ilustrasi. (Foto: Unsplash)

Bagikan:

JAKARTA - Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) meminta program restrukturisasi kredit atau keringanan kredit perbankan dapat diperpanjang. Hal ini karena relaksasi tersebut sangat diperlukan untuk membantu arus kas keuangan perusahaan di tengah tekanan pandemi COVID-19.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani berharap, program keringanan kredit bisa diperpanjang hingga dua tahun ke depan. Pasalnya, meski bisnis sudah berjalan saat ini, perlu pemulihan bisnis yang dinilai butuh waktu bertahun-tahun ke depan.

Hariyadi mengatakan, kalangan usaha baru mulai menggantungkan banyak harapan di 2021. Sebab, proyeksi ekonomi dapat tumbuh 4,9 persen hingga 5,1 persen pada tahun ini, sirna sudah kala pandemi COVID-19 datang menghadang.

Lebih lanjut, Hariyadi berujar, bahwa krisis yang ditimbulkan oleh pandemi COVID-19 merupakan yang terberat dalam waktu 20 tahun terakhir, di mana pada tahun 1998 Indonesia mengalami krisis keuangan.

"Apindo mengharapkan agar OJK (Otoritas Jasa Keuangan) dapat mempertimbangkan perpanjangan pelaksanaan relaksasi sebagaimana diatur dalam POJK Nomor 11 Tahun 2020 yaitu yang harusnya berakhir pada Maret 2021 dapat diperpanjang untuk kurun waktu 1 tahun atau 2 tahun ke depan," tuturnya, dalam acara Asosiasi Emiten Indonesia (AEI) bertajuk 'Outlook 2021', Rabu, 21 Oktober.

Relaksasi kredit atau restrukturisasi perbankan sebagaimana diatur dalam POJK Nomor 11 Tahun 2020 dan POJK Nomor 14 Tahun 2020, kata Hariyadi, telah berjalan dengan cukup baik, sehingga dapat membantu arus kas keuangan perusahaan di masa pandemi.

"Diharapkan, kemudahan relaksasi kredit perbankan ini dapat berjalan lebih lancar dan dapat menjadi standar di semua lini keuangan perbankan dan non perbankan terutama untuk kredit modal kerja terutama untuk usaha usaha yang sedang melakukan untuk pemulihan," tuturnya.

Apindo, lanjutnya, juga terus mendorong upaya pemerintah untuk dapat mempercepat eksekusi dan implementasi stimulus jumlah besar yang ditetapkan, agar ekonomi bisa segera bergerak. Di antaranya, percepatan bantuan sosial hingga realisasi belanja pemerintah.

Meski demikian, Hariyadi mengatakan, kalangan pengusaha juga memahami dalam kondisi ini akan sulit untuk menggalang pajak. Untuk itu, kelonggaran defisit diperlukan agar perekonomian tidak terperosot lagi.

Sementara itu, Hariyadi meminta, agar semua pihak objektif dalam memandang UU Omnibus Law Cipta Kerja yang telah disahkan DPR pada 5 Oktober, secara khusus klaster Ketenagakerjaan. Menurut dia, negeri ini membutuhkan investasi yang mampu menyerap banyak tenaga kerja melihat 57,4 persen pencari kerja merupakan lulusan SMP ke bawah dan ada sekitar 7 juta pengangguran setiap tahunnya.

Sementara itu, dengan lebih dari 100 juta data masyarakat yang menerima bantuan subsidi dari pemerintah, maka diperlukan akses yang lebih baik untuk menuju pekerja formal. Namun, Hariyadi mengakui, ada tantangan yang harus dihadapi.

"Tantangannya adalah untuk menjaga substansi UU Cipta Kerja agar tidak direduksi dalam sejumlah PP yang saat ini sedang dibahas," tuturnya.