Tantang Israel Soal Pawai Bendera di Yerusalem, Hamas: Mereka Dapat Menghindari Perang Jika Dihentikan
Ilustrasi Hamas. (Wikimedia Common/Hoheit (¿!))

Bagikan:

JAKARTA - Kelompok Hamas yang menguasai Jalur Gaza tengah berusah memberlakukan garis batas baru di Yerusalem, pusta konflik selama puluhan tahun antara Israel dan Palestina, sekalipun berisiko memicu perang.

Selama bertahun-tahun, nasionalis Israel yang mengibarkan bendera telah menggelar pawai tahunan melalui Yerusalem untuk merayakan penaklukan Israel atas Kota Tua dalam perang Timur Tengah 1967.

Prosesi melalui jalan-jalan sempit di kawasan Muslim selalu kontroversial, tetapi upaya hukum untuk melarang acara tersebut gagal, dengan para pendukung berpendapat itu adalah festival yang sah yang menandai momen luar biasa dalam sejarah Yahudi.

Hamas secara signifikan meningkatkan 'taruhannya' tahun lalu, menembakkan roket ke Israel beberapa menit setelah pawai 2021 dimulai, memicu perang 11 hari. Pemimpin kelompok itu mengatakan, mereka siap untuk kekerasan baru pada Hari Minggu jika pemerintah Israel tidak menjaga pawai tahun ini keluar dari lingkungan Muslim.

"Mereka dapat menghindari perang dan eskalasi jika mereka menghentikan (pawai) gila ini," Bassem Naim, seorang pejabat senior Hamas, mengatakan kepada Reuters di Gaza minggu ini, melansir Reuters 27 Mei.

"Saya berharap Hamas dan faksi (militer) lainnya siap melakukan semua yang mereka bisa untuk mencegah peristiwa ini, terlepas dari berapa biaya yang harus kami keluarkan," tukas Naim

Bagi banyak orang Palestina, pawai tersebut merupakan provokasi terang-terangan dan pelanggaran berat terhadap salah satu dari sedikit tempat di kota itu, yang semakin dikurung oleh pembangunan dan pemukiman Yahudi, yang mempertahankan cita rasa Arab yang kuat.

kompleks masjid al aqsa
Masjid Al-Aqsa. (Wikimedia Commons/Andrew Shiva)

Sementara Bagi Hamas itu juga merupakan penghinaan agama, mengingat Kota Tua adalah rumah bagi kompleks masjid Al Aqsa, situs tersuci ketiga dalam Islam, yang juga dihormati oleh orang Yahudi sebagai Temple Mount, sisa dari dua kuil kuno agama mereka.

Diketahui, Perdana Menteri Naftali Bennett telah membela keputusan pejabat keamanan untuk membiarkan prosesi Hari Minggu, memasuki Gerbang Damaskus dan melewati kawasan Muslim.

Beberapa anggota koalisi telah mendesaknya untuk memikirkan kembali rute, menyarankan mungkin ada perubahan hati di menit-menit terakhir. Namun, seorang sumber senior diplomatik Barat meragukan PM Bennett akan menuruti permintaan Hamas.

"Dia baru menjabat selama satu tahun dan itu akan membuatnya terlihat lemah," ujar diplomat itu, yang menolak disebutkan namanya.

Israel melihat seluruh Yerusalem sebagai ibu kota abadi dan tak terpisahkan. Sementara, Palestina menginginkan bagian timur kota tersebut sebagai ibu kota negara masa depan mereka.

"Untuk Israel, Yerusalem tidak ada di meja, untuk Palestina itu adalah meja. Ini adalah Alamo (Perang Alamo) mereka," terang Daniel Seidemann, seorang pengacara Israel dan juru kampanye untuk hak-hak Palestina di Yerusalem Timur.

Seorang anggota parlemen senior Israel dari koalisi yang berkuasa mengatakan, terlalu berisiko untuk membiarkan pawai Hari Minggu berlanjut dalam bentuknya yang sekarang mengingat ketegangan.

"Kita tidak boleh, dengan tangan kita sendiri, menyebabkan perang agama di sini atau segala macam provokasi yang dapat memicu Timur Tengah," sebut Ram Ben-Barak kepada Radio Kan.

Namun, seruan untuk memikirkan kembali rute tersebut telah dicemooh oleh penyelenggara, yang menyangkal bahwa prosesi tersebut, yang sering menampilkan nyanyian anti-Arab, adalah sebuah provokasi.

"Ini semua tentang perayaan, pembebasan Yerusalem dan kembalinya orang-orang Yahudi ke kota Yahudi, Yerusalem," tukas Arieh King, wakil walikota Yerusalem.

Terpisah, menyoroti keprihatinannya atas kemungkinan kekerasan, Kedutaan Besar AS di Yerusalem telah melarang pegawai pemerintah AS dan keluarga mereka memasuki Kota Tua pada Hari Minggu, mengatakan Gerbang Damaskus terlarang bagi mereka sampai pemberitahuan lebih lanjut.