Mahasiswa Trisakti Pertanyakan Kasus Semanggi I-II, KSP Moeldoko Pastikan Pemerintah Tidak Tinggal Diam
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menerima perwakilan mahasiswa Universitas Trisakti di gedung Bina Graha Komplek Istana Kepresidenan Jakarta (Via ANTARA)

Bagikan:

JAKARTA - Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko menerima perwakilan mahasiswa Universitas Trisakti sebagai tindak lanjut dari aksi unjuk rasa oleh mahasiswa pada Kamis, 12 Mei  lalu untuk membahas sejumlah kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).

Presiden BEM Universitas Trisakti Fauzan Raisal Misri mengungkapkan, kedatangan perwakilan dari 6 Kampus Trisakti ke Kantor Staf Presiden (KSP) untuk mempertanyakan upaya pemerintah dalam menyelesaikan persoalan HAM, baik yang terjadi pada mahasiswa Trisakti maupun pelanggaran HAM lain.

"Tidak hanya soal Trisakti, tapi juga soal Semanggi I-II, dan pelanggaran HAM lainnya," kata Fauzan dalam keterangan resmi diterima di Jakarta, Antara, Rabu, 18 Mei. 

Fauzan menguraikan sejumlah isu menyangkut HAM yang belum tuntas, terutama yang terjadi pada 12 Mei 1998. Ia menyinggung keberlanjutan kesejahteraan keluarga korban, gelar pahlawan untuk pejuang reformasi, dan pengadilan untuk pelaku pelanggar HAM pada 1998.

"Sebelumnya kami sampaikan terima kasih, setelah 24 tahun pemerintah akhirnya memberikan bantuan pada keluarga korban beberapa waktu lalu. Tapi bagaimana dengan keberlanjutannya," kata Fauzan.

Menanggapi hal itu, KSP Moeldoko memastikan pemerintah tidak tinggal diam dan tetap menjadikan pelanggaran HAM masa lalu sebagai prioritas. Pemerintah terus mengupayakan penyelesaian dugaan pelanggaran HAM yang berat, baik secara yudisial maupun nonyudisial.

Penyelesaian secara yudisial akan digunakan untuk kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM berat baru (terjadi setelah pemberlakuan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM).

Sementara untuk kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu (terjadi sebelum November 2000), imbuh Moeldoko, akan diprioritaskan dengan penyelesaian melalui pendekatan nonyudisial, seperti melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).

"Kasus Trisakti 1998 masuk kategori pelanggaran HAM berat masa lalu yang idealnya diselesaikan melalui mekanisme nonyudisial," kata dia.

Mantan Panglima TNI itu menjelaskan, UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM memang memungkinkan penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu melalui pengadilan. Namun, menurut dia, tentu harus menunggu putusan politik oleh DPR.

Meskipun pengadilan belum bisa digelar, Moeldoko menegaskan pemerintah tetap mengupayakan agar para korban tetap mendapatkan bantuan dan pemulihan dari negara.

Untuk itu, pada 12 Mei 2022, Menteri BUMN memberikan bantuan perumahan kepada 4 keluarga korban Trisakti.

Pemerintah melalui Kemenko Polhukam tengah memfinalisasi rancangan kebijakan yang nonyudisial (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi) dan memastikan Pengadilan HAM Paniai berjalan.

"Dengan pendekatan ini, kami berharap kasus Trisakti, Semanggi I, dan II, Kasus Mei 98 dan lain-lain bisa turut terselesaikan," tutupnya.