Ketua Kadin Rosan Roeslani: Pengesahan UU Cipta Kerja Tak Perlu Menunggu COVID-19 Berakhir
Ketua Kadin, Rosan P. Roeslani. (Mery Handayani/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Banyak pihak yang menyayangkan, di tengah situasi pandemi COVID-19, pemerintah justru mengebut pengesahan UU Cipta Kerja. UU sapu jagat itu dinilai hanya menguntungkan pengusaha dan semakin membuat rakyat kecil menjerit karena ada pasal-pasal yang dianggap merugikan para pekerja.

Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Rosan Roeslani, membeberkan alasan mengapa pengesahan UU Cipta Kerja dikebut. Menurutnya, hal itu dilakukan agar Indonesia juga bisa mengejar negara Asia lainnya dalam hal menarik investor.

"Kami tak mau menunggu COVID-19 berakhir. Karena kalau menunggu itu, nanti kita ketinggalan lagi dengan negara tetangga seperti Thailand, Malaysia, dan Vietnam dalam hal mendatangkan investor," kata Rosan Roeslani di Jakarta, Kamis, 15 Oktober.

Rosan menambahkan, justru di tengah situasi yang semakin tak menentu karena efek pandemi, Indonesia perlu merespons cepat untuk mengembalikan geliat investasi dengan mengesahkan UU Cipta Kerja ini. UU sapu jagat tersebut menurutnya, bakal memberikan sinyal kuat bahwa Indonesia tetap dalam keadaan kondusif dan terbuka untuk bisnis dan investasi.

Dia pun tak menampik bahwa data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menunjukkan investasi tetap meningkat setiap tahunnya. Namun ia menyoroti, meski investasi tinggi, penyerapan tenaga kerja masih terlihat rendah.

"Investasi padat modal atau manufacturing lebih memilih negara-negara tetangga kita seperti Malaysia, Thailand dan Vietnam. Foreign Direct Investment (FDI) adalah salah satu sumber penting pembiayaan bagi Indonesia," tuturnya.

Ia menjelaskan, dengan tingginya FDI, pemerintah bisa menciptakan lapangan kerja yang besar. Ketua Satgas Omnibus Law ini mengatakan penciptaan lapangan kerja harus dilakukan dengan mendorong peningkatan investasi sebesar 6,6 sampai 7 persen.

"Itu untuk membangun usaha baru atau mengembangkan usaha eksisting. Upaya itu demi mendorong peningkatan konsumsi di kisaran 5,4 sampai 5,6 persen. Dan setelah UU disahkan, diharapkan terjadi perubahan struktur ekonomi untuk mendorong pertumbuhan mencapai 5,7 persen sampai 6 persen," jelas Rosan.