JAKARTA - Kemarin, Presiden Joko Widodo mengumumkan bahwa saat ini masyarakat sudah tidak lagi wajib mengenakan masker saat beraktivitas di luar ruangan.
Meski demikian, untuk kegiatan di ruangan tertutup dan transportasi publik, pemerintah tetap mewajibkan masyarakat untuk menggunakan masker.
Kemudian, kelompok masyarakat yang masuk kategori rentan lansia, atau memiliki penyakit komorbid, Jokowi tetap menyarankan mereka untuk tetap menggunakan masker saat beraktivitas.
Demikian juga bagi masyarakat yang mengalami gejala batuk dan pilek, maka tetap harus menggunakan masker ketika melakukan aktivitas.
Keputusan bebas masker ini dilakukan pemerintah setelah menahan untuk tidak langsung melonggarkan pembatasan kegiatan, ketika negara lain sudah mulai melakukannya sejak tiga bulan lalu.
Amerika Serikat telah mulai membolehkan lepas masker di luar ruangan sejak 25 Februari lalu, Inggris sejak 1 April lalu, Singapura sejak 22 April lalu, Italia sejak 1 Mei lalu, dan Jerman sejak 7 Mei lalu.
Jika diingat kembali, beberapa bulan lalu, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menkomarves) Luhut Binsar Pandjaitan menyebut pemerintah belum ingin mengikuti kebijakan negara lain yang terlalu melonggarkan pengetatan pandemi.
Menurut Luhut, kebijakan pengetatan akibat COVID-19 di Indonesia lebih konservatif dibanding negara lain yang sudah meniadakan kewajiban penggunaan masker bagi warganya.
"Jika dibandingkan dengan beberapa negara yang sudah tidak melakukan pembatasan bahkan tidak mewajibkan penggunaan masker pendekatan kami jauh lebih konservatif," kata Luhut dalam konferensi pers virtual, Senin, 14 Februari.
Luhut mengungkapkan, hal ini dimaksudkan agar sistem kesehatan tetap terjaga dan meminimalkan terjadinya kematian. "Karena menurut kami, kehilangan satu nyawa sangat berharga," ucap Luhut.
BACA JUGA:
Kini, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menjelaskan alasan pemerintah membolehkan masyarakat untuk melepas masker di luar ruangan. Menurut Budi, saat ini jumlah masyarakat yang memiliki antibodi masyarakat terhadap SARS-CoV-2 (COVID-19) saat ini sangat tinggi.
Sebelum musim Lebaran, pemerintah melakukan sero survei terhadap antibodi masyarakat di Jawa dan Bali. Hasilnya, terdapat kenaikan jumlah masyarakat yang sudah memilki antibodi dari bulan Desember 2021 sebesar 93 persen menjadi 99,2 persen pada Maret 2022.
"Ternyata naik dari 93 persen menjadi 99,2 persen. Ini disebabkan kombinasi sekali lagi karena adanya percepatan dari vaksinasi, tapi juga penularan Omicron yang jauh lebih tinggi dari Delta. Sehingga, banyak masyarakat kita yang tertular dan memiliki antibodi yang berasal dari infeksi," kata Budi dalam konferensi pers virtual, Selasa, 17 Mei.
Selain itu, Budi menyebut bukan hanya jumlah populasi masyarakat yang memiliki antibodi lebih banyak saat ini, tapi juga titer antibodi atau kadar antibodinya jauh lebih tinggi.
Pada bulan Desember 2021, rata-rata kadar antibodi masyarakat dalam order ratusan. Lalu, pada bulan Maret, kadar antibodinya naik menjadi 7.000 hingga 8.000.
"Ini membuktikan bahwa masyarakat kita, selain yang memiliki antibodinya tumbuh lebih banyak, tapi juga kadar antibodinya atau titer antibodinya naik lebih tinggi," tutur Budi.
Terlebih lagi, saat ini banyak rakyat masyarakat Indonesia yang sudah divaksinasi kemudian terkena Omicron. Hasil riset di seluruh dunia menunjukkan kombinasi dari vaksinasi ditambah dengan infeksi membentuk apa yang di kalangan sains disebut super immunity.
"Jadi, orang-orang yang sudah pernah divaksinasi kemudian terkena, selain itu melindungi yang bersangkutan untuk masuk rumah sakit, tapi juga membangun super immunity," imbuhnya.