Antisipasi Gelombang Kedua COVID-19: Banyak Negara Melakukan Tes Antigen Meskipun Kurang Akurat
Ilustrasi (Fernandozhiminaicela/Pixabay)

Bagikan:

JAKARTA - Negara-negara yang berusaha menahan gelombang kedua COVID-19 mulai menggencarkan tes antigen agar pengujian dilakukan lebih cepat dan murah, meski kurang akurat. Desakan lain mengapa banyak negara melakukan tes antigen yakni karena waktu tunggu hasil tes polymerase chain reaction (PCR) yang semakin lama seiring melonjaknya kasus COVID-19.

Jerman misalnya, negara yang mengalami pelonjakan kasus COVID-19 sebanyak 4.122 orang pada Selasa kemarin, telah mengamankan sembilan juta alat tes antigen. Jumlah itu kira-kira cukup untuk mengetes 10 persen populasi negara itu. 

Tes antigen bisa segera memberikan hasil uji dalam hitungan menit. Di Jerman biaya tes ini sekitar 5 euro atau sekitar Rp87.000 per alat tes.

Selain Jerman, Amerika Serikat (AS) dan Kanada juga membeli jutaan alat tes antigen. Italia tendernya baru-baru ini membeli alat tes untuk 5 juta tes menarik tawaran dari 35 perusahaan.

Melansir Reuters, Rabu 14 Oktober, Robert Koch Institute (RKI) dari Jerman merekomendasikan tes antigen untuk melengkapi tes PCR molekuler yang telah menjadi standar untuk menilai infeksi aktif. Tes antigen menjadi alternatif karena PCR membuat laboratorium penuh. Penuhnya laboratorium membuat hasil tes keluar lebih lama. 

Tes PCR mendeteksi materi genetik dalam virus sementara tes antigen mendeteksi protein pada permukaan virus. Keduanya dimaksudkan untuk mendeteksi infeksi aktif. Tes antigen juga diklaim dapat mengetahui antibodi yang diproduksi tubuh sebagai respons terhadap infeksi dan dapat membantu mengetahui apakah seseorang pernah menderita COVID-19 di masa lalu.

Seperti tes PCR, tes antigen memerlukan swab hidung yang tidak nyaman. Namun kekurangan dari tes ini adalah dapat menghasilkan "negatif palsu", mendorong beberapa ahli untuk merekomendasikan tes antigen hanya digunakan dalam keadaan darurat. 

Namun, peningkatan jumlah kasus COVID-19 baru secara global membuat pejabat kesehatan mati-matian memiliki lebih banyak pilihan karena musim influenza akibat musim dingin sudah dekat. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan lebih dari 2 juta kasus baru minggu lalu, menjadikan total kasus COVID-19 di seluruh dunia menjadi 37 juta, dengan lebih dari 1 juta kematian akibat COVID-19.

“Tes ini dapat membuat perbedaan besar,” kata Gerard Krause, direktur departemen epidemiologi di Pusat Penelitian Infeksi Helmholtz Jerman.

Selain itu, tes antigen mendapatkan daya tarik dalam industri perjalanan. Maskapai Italia Alitalia menawarkan penerbangan Roma-Milan secara eksklusif untuk penumpang dengan tes negatif dan Lufthansa Jerman telah mengumumkan rencana pengujian menggunakan tes antigen.

Cari cara uji cepat

Skala pandemi yang sangat besar juga telah menekan kemampuan negara-negara untuk menguji semua warganya. Hal tersebut membuat mereka sulit melacak jalur penularan yang berliku secara komprehensif dan mencegah gelombang 2 COVID-19.

Di AS, misalnya, ketergantungan pada PCR selama musim panas membuat banyak pasien frustrasi. Mereka harus menunggu hasil selama seminggu atau lebih. Pengujian di Eropa pun juga mengalami gangguan.

Prancis melakukan lebih dari satu juta tes seminggu tetapi kebijakan pengujian gratis menyebabkan antrean panjang dan keterlambatan hasil. Hal tersebut mendorong para peneliti di Prancis membuat tes yang mereka katakan dapat menunjukkan hasil dalam 40 menit, tanpa menggunakan swab.

Italia melakukan antara 800.000 dan 840.000 tes seminggu, lebih dari dua kali lipat tes pada April, menurut Kementerian Kesehatan Italia. Tetapi seorang penasihat pemerintah, profesor mikrobiologi Universitas Padua, Andrea Crisanti, mengatakan Italia membutuhkan 2 juta tes seminggu untuk benar-benar mengatasi COVID-19.

Di Belanda, di mana tingkat infeksi termasuk yang tertinggi di Eropa, pemerintah telah berusaha keras untuk memperluas pengujian mingguan dan menggunakan tes antigen. Target Belanda adalah hampir setengah juta tes per minggu pada Desember. Namun orang-orang harus menunggu berhari-hari untuk mendapatkan tes COVID-19.

Pihak berwenang Belanda menyalahkan permintaan yang berlebihan dari mereka yang tidak memiliki gejala yang jelas karena justru menyumbat sistem. Sebagai tanggapan, pihak berwenang telah membatasi tes antigen dengan mengutamakan petugas kesehatan dan guru. Sementara yang lain masuk dalam daftar tunggu.

Perusahaan medis ternama Swiss Roche mengumumkan rencananya untuk meluncurkan tes antigen baru pada akhir tahun. Alat tes tersebut diketahui dapat diproses pada di lab hingga 300 tes per jam, tidak termasuk waktu pengumpulan. Saingannya Siemens Healthineers, Abbott Laboratories dan Becton Dickinson juga menawarkan banyak tes diagnosa COVID-19.

Roche mengatakan tes itu dapat diterapkan di tempat-tempat seperti panti jompo atau rumah sakit, di mana hasil yang cepat dapat menggagalkan wabah yang berpotensi mematikan. Perusahaan yang berbasis di Basel itu mengatakan dapat melakukan sekitar 50 juta tes baru sebulan pada awal 2021. 

"Penggunaan utama adalah pengujian kepada pasien bergejala," kata juru bicara Roche. "Penggunaan sekunder adalah pengujian individu yang dicurigai terinfeksi yang juga dapat mencakup pasien tanpa gejala."

Meski ada alat tes antigen lebih cepat, orang harus menahan diri untuk tidak menggunakannya sebagai pengganti tes PCR. Karena walau bagaimanapun, tes antigen tidak seakurat PCR. Sekali lagi, antigen digunakan hanya untuk keadaan darurat saja. 

“Tes PCR tetap menjadi standar emas,” kata Sandra Ciesek, direktur Institute of Medical Virology di University Clinic, Frankfurt. "Tes antigen hanya boleh digunakan sebagai alternatif jika PCR tidak memungkinkan pada waktu yang tepat," tutupnya.