Perubahan Jumlah Halaman Draf UU Cipta Kerja Dianggap Mengacaukan Informasi di Ruang Publik
Spanduk penolakan UU Cipta Kerja yang dibawa dalam aksi Kamis, 9 Oktober (Irfan Meidianto/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Draf UU Omnibus Law Cipta Kerja kembali berubah jumlah halaman di hari yang sama. Terbaru, draf yang beredar kini hanya berjumlah 812 halaman atau berkurang 223 halaman dari draf sebelumnya yang tebalnya mencapai 1.035 halaman.

Sekjen DPR RI Indra Iskandar membenarkan adanya perubahan halaman tersebut. Perbedaan ini terjadi kata dia karena adanya format kertas yang digunakan untuk mencetak draf tersebut.

"Iya (812 halaman, red). Terakhir itu kan kertasnya pakai format legal. Kan tadi (draf dengan 1.035 halaman, red) pakai format A4, sekarang pakai legal jadi 812 halaman," kata Indra kepada wartawan, Senin, 12 Oktober.

Namun, dia tak menjelaskan lebih lanjut, ada atau tidaknya perubahan substansi dalam draf terbaru dengan 812 halaman tersebut. Yang pasti, kata Indra, perubahan ini murni karena masalah administrasi.

"Saya enggak mau soal substansi. Saya hanya administrasi," tegasnya sambil menambahkan hingga saat ini belum ada draf final yang dikirimkan pada Presiden Jokowi.

Terus berubah-ubahnya jumlah halaman draf ini disoroti peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus. Menurut dia, terus munculnya beragam versi naskah RUU Cipta Kerja yang disebut sebagai naskah final menambah kesimpangsiuran di ruang publik.

Kesimpangsiuran ini, kata dia, juga sesuatu yang bukan disengaja namun dapat diduga telah direncanakan untuk mengacaukan informasi.

"Ada desain tertentu yang diinginkan oleh DPR dan pemerintah dengan mengacaukan informasi di ruang publik," kata Lucius saat dihubungi VOI, Selasa, 13 Oktober.

Hal seperti ini, kata dia, bertujuan agar publik ramai mempersoalkan masalah teknis mengenai ketersediaan naskah UU Cipta Kerja dan tak mengkritisi isi atau substansi yang ada di dalamnya karena tak punya bahan yang valid.

Dalam kondisi semacam inilah, Lucius menganggap pemerintah dan DPR RI akan melancarkan misi mereka yaitu memastikan substansi perundangan ini sesuai dengan keinginan mereka. 

"Tidak tersedianya naskah valid yang resmi di ruang publik nampaknya akan memudahkan DPR dan pemerintah untuk mengontrol substansi yang mereka inginkan dapat tetap tercantum dalam naskah final yang diundangkan nantin," tegasnya.

Selain itu, langkah semacam ini juga membuat pemerintah dan DPR bisa dengan mudah menuding pihak yang melontarkan kritik sebagai upaya penyesatan isi undang-undang dan menyebarkan berita bohong. Sebabnya, lagi-lagi karena masyarakat tak memiliki naskah yang valid.

Munculnya Sekjen DPR RI yang selalu berkomentar soal masalah jumlah halaman juga dianggap Lucius sebagai salah satu cara DPR RI mengulur waktu saat publik mempertanyakan draf naskah final undang-undang yang disahkan pada Senin, 5 Oktober lalu.

"Sekjen DPR mungkin saja ditugasi untuk bermain-main dengan urusan memberikan konfirmasi atas naskah ini. Tujuannya agar tak mengganggu elite yang mengamankan kepentingan ini," tegasnya.

"Dengan demikian, saya kira publik tak akan pernah bisa memastikan naskah final UU Ciptaker sampai benar-benar sudah diundangkan nanti," imbuhnya.

 

Apalagi, saat ini segala proses dilakukan secara tertutup dan tersistematis untuk mengamankan perundangan ini hingga diterapkan.

Selain itu, Lucius juga tak menampik kekhawatiran publik terkait diubahnya substansi di tengah penyempurnaan naskah sangat mungkin terjadi. Jika hal ini benar dilakukan, ke depan kepercayaan publik terhadap DPR RI akan melorot hingga ke titik terendah.

"Model kucing-kucingan dalam proses pembuatan UU akan membuat DPR ke depannya tak mudah mendapat kepercayaan publik dan makin membuat kekecewaan publik semakin dalam. Dan pada saatnya, kekecewaan ini bisa saja berubah menjadi kemarahan," pungkasnya.