Bagikan:

JAKARTA - Pembahasan mengenai bank tanah telah memakan waktu yang cukup lama. Dan akhirnya, pasal mengenai bank tanah dimunculkan di Omnibus Law meskipun masih sangat terbatas.

CEO Indonesia Property Watch Ali Tranghanda mengapresiasi hal tersebut meskipun melihat masih jauh untuk dapat direalisasikan. Konsep bank tanah ini harusnya dapat memberikan angin segar bagi pemenuhan kebutuhan hunian bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) dan masyarakat perkotaan.

Dengan bank tanah artinya tanah-tanah yang ada dapat dikendalikan kenaikannya sehingga dimungkinkan masih dapat terjangkau. Konsep bank tanah sendiri menjadi salah satu instrumen untuk dapat mengendalikan harga tanah dan sempat juga diusulkan Indonesia Property Watch sejak 2009.

Pasal mengenai bank tanah pada Omnibus Law dibahas pada pasal 125 sampai 130, di mana pembentukannya dilakukan oleh pemerintah pusat. Paling sedikit 30 persen dari tanah negara diperuntukan untuk bank tanah dan akan dikelola oleh badan pengawas. Dalam pelaksanaannya nanti bank tanah diberikan hak pengelolaan dalam bentuk hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai.

"Meskipun demikian Indonesia Property Watch melihat belum ada hal yang spesifik yang ditujukan untuk penyediaan hunian untuk rakyat. Perlu adanya pembahasan dan pasal tersendiri yang menyangkut ketersediaan bank tanah untuk hunian MBR dan perkotaan, mengingat saat ini bank tanah lebih diarahkan terkait penyediaan tanah untuk kepentingan umum, kepentingan sosial, dan untuk mendukung investasi bagi kawadan ekonomi khusus (KEK) dan industri," ujar Ali dalam keterangannya kepada VOI, Senin 12 Oktober.

Sehubungan dengan hal tersebut, menurut Ali, maka bank tanah untuk perumahan ada baiknya berada di bawah badan perumahan dan tidak digabung dengan dewan pengawas bank tanah. Badan perumahan ini nantinya akan berada di bawah presiden, mengingat karakteristik perumahan yang lintas kementerian, mulai dari Kementerian PUPR, Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Perdagangan, Kementerian ATR/BPN, sampai Kementerian Sosial.

Ali menuturkan, bank tanah untuk hunian nantinya tidak hanya dari tanah negara yang sudah ada, tidak juga harus melalui pembelian lahan. Bahkan menurutnya, harus diperdayakan tanah-tanah BUMN/BUMD untuk sebagian disiapkan sebagai bank tanah, termasuk tanah-tanah yang menjadi kewajiban pengembang swasta melalui hunian berimbang.

Tidak semua tanah untuk penyediaan hunian nantinya harus dengan hak pengelolaan. Hak pengelolaan menjadi bermanfaat karena pemerintah dapat leluasa mengatur dengan baik penggunaan tanahnya agar terhindar dari spekulasi lahan. Namun perlu penegasan lebih lanjut karena dalam Undang-Undang Pokok Agraria 1960 tak ada aturan mengena pihak pengelolaan (HPL).

Selanjutnya pasokan bank tanah yang ada, menurut pasal 137 akan dikelola dan diberikan kepada pemerintah pusat; pemerintah daerah; badan bank tanah; BUMN/BUMD, dan badan hukum milik negara/daerah; atau badan hukum yang ditunjuk oleh pemerintah pusat. Penguatan bank tanah di daerah harus juga dilakukan karena nantinya akan sangat terkait juga dengan pemaduserasian dengan tata ruang setempat.

"Konsep bank tanah ini harus didorong agar masyarakat dapat memperoleh hunian yang layak dengan pengendalian harga tanahyang harusnya dapat dilakukan dengan bank tanah ini," ujar Ali.

Selain itu, sampai saat ini Indonesia belum mempunyai road map dan blue print penyediaan hunian yang membuat program-program perumahan berjalan masing-masing. Konsep bank tanah, menurut Ali, kepemilikan asing, tabungan perumahan, dan lainnya masih menjadi kepingan puzzle yang belum terangkai dengan baik dalam sebuah perencanaan strategis hunian secara nasional.