Beijing dan Shanghai Perketat Pembatasan COVID-19: Warga Dilarang Keluar Rumah, Khawatir Kehabisan Persediaan Kebutuhan
Ilustrasi COVID-19 di Beijing, China. (Wikimedia Commons/Pau Colominas)

Bagikan:

JAKARTA - Dua kota terbesar China, Beijing dan Shanghai, memperketat pembatasan COVID-19 pada Hari Senin, meningkatkan frustasi dan pertanyaan legalitas langkah yang ditempuh otoritas setempat.

Ketika pihak berwenang bergulat dengan wabah COVID terburuk di China sejak epidemi dimulai, pihak berwenang di kota terpadat Shanghai telah meluncurkan dorongan baru untuk mengakhiri infeksi di luar zona karantina pada akhir Mei, kata orang-orang yang mengetahui masalah tersebut.

Meskipun belum ada pengumuman resmi, selama akhir pekan beberapa penduduk di setidaknya empat dari 16 distrik menerima pemberitahuan yang mengatakan mereka tidak lagi dapat meninggalkan rumah hingga sekadar menerima pengiriman, sebagai bagian dari upaya untuk menurunkan infeksi masyarakat ke nol.

"Pulang, pulang!" seorang wanita berteriak melalui megafon pada penduduk yang berbaur di bawah menara apartemen di salah satu kompleks itu, melansir Reuters 9 Mei.

Dua warga di distrik kelima, Yangpu, mengatakan mereka diberitahu tentang tindakan serupa, dengan pedagang di lingkungan mereka akan ditutup sebagai bagian dari upaya tersebut.

Sementara itu, reaksi keras datang dari publik, setelah akun online pihak berwenang memaksa warga yang bertetangga dengan kasus positif COVID19, untuk ke karantina terpusat dan meminta penyerahan kunci rumah untuk disinfeksi. Langkah yang dikecam ahli sebagai pelanggaran hukum.

Satu video menunjukkan polisi mengambil kunci setelah seorang penduduk menolak untuk membuka pintu. Dalam contoh lain, rekaman suara panggilan beredar di internet, saat seorang wanita berdebat dengan pejabat menuntut untuk menyemprotkan disinfektan di rumahnya, meskipun dia telah dites negatif.

Profesor Tong Zhiwei, yang mengajar hukum di Universitas Ilmu Politik dan Hukum China Timur, menulis dalam sebuah esai yang beredar luas di media sosial pada Hari Minggu, tindakan seperti itu ilegal dan harus dihentikan.

"Shanghai harus memberikan contoh yang baik untuk seluruh negara tentang bagaimana melakukan pekerjaan pencegahan COVID dengan cara yang ilmiah dan sah," tulis Tong.

Langkah-langkah seperti itu seharusnya hanya diambil dalam keadaan darurat, katanya dalam esai, yang menurutnya lebih dari 20 akademisi telah memberikan masukan.

Terpisah, Liu Dali, seorang pengacara dari salah satu firma hukum terbesar di China, menulis surat serupa kepada pihak berwenang.

covid-19 di beijing
Sentra vaksinasi COVID-19 di Shanghai, China. (Wikimedia Commons/SSYoung)

Salinan kedua surat telah disensor dari internet China, meskipun pengguna telah mengunggah ulang tangkapan layar. Sementara, unggahan dari akun media sosial Tong di situs Weibo diblokir pada Minggu malam. Liu dan Tong tidak segera menanggapi permintaan komentar.

China bersikeras mereka akan tetap pada kebijakan nol-COVID, untuk memerangi penyakit yang pertama kali muncul di kota Wuhan pada akhir 2019, meskipun ada peningkatan korban pada ekonominya.

Pihak berwenang juga menanggapi kritik terhadap kebijakan yang dinilai menyelamatkan nyawa. Mereka menunjuk pada angka kematian yang jauh lebih tinggi di negara-negara lain yang telah melonggarkan pembatasan, atau membatalkannya sama sekali, dalam upaya untuk "hidup dengan COVID" meskipun infeksi menyebar.

"Kita harus bersikeras mengatur arus dan kontrol pergerakan orang," sebut Pemerintah Kota Shanghai dalam menanggapi pertanyaan Reuters tentang pembatasan terbaru.

Menurutnya, pendekatan 'satu ukuran untuk semua' harus dihindari dan setiap distrik diizinkan untuk memperketat tindakan, sesuai dengan situasinya sendiri. Diketahui, pada Hari Senin Shanghai melaporkan penurunan kasus baru selama 10 hari berturut-turut.

Di Beijing, penduduk di daerah yang paling parah terkena bencana disuruh bekerja dari rumah. Sementara, jumlah jalan, kompleks dan taman ditutup bertambah pada Senin, ketika kota berpenduduk 22 juta itu bergulat dengan wabah terburuk sejak 2020.

Tak hanya itu, jumlah rute bus yang ditangguhkan juga bertambah seiringd engan bertambahnya putaran tes COVID-19 di beberapa distrik, termasuk Chaoyang dan Fangshan, yang keduanya digambarkan oleh otoritas kota sebagai 'prioritas' dalam penanganan kontra-epidemi kota.

Beijing melaporkan 49 kasus baru yang ditularkan secara lokal untuk 8 Mei pada Hari Senin, menjadikan penghitungan infeksi sejak 22 April menjadi lebih dari 760.

Ibukota juga telah berharap untuk menghindari minggu-minggu penguncian yang dialami Shanghai, tetapi semakin banyak bangunan tempat tinggal di bawah perintah penguncian membuat penduduk gelisah.

"Saya baru saja menyewa sebuah apartemen di kompleks ini, dan saya tidak menerima pemberitahuan apa pun," ujar seorang penduduk Distrik Changping berusia 28 tahun di Beijing utara yang bermarga Wang ,setelah dilarang meninggalkan kompleksnya pada Hari Senin.

"Saya sudah bekerja dari rumah, tetapi saya khawatir saya mungkin kehabisan persediaan harian," sambungnya.

Warga menerima pemberitahuan pada Senin pagi, kasus positif telah terdeteksi di daerah tersebut. Seorang pengasuh yang tinggal di kompleks yang sama mengatakan, penguncian berarti dia tidak bisa mendapatkan pekerjaan baru.

"Hari ini adalah hari pertama kerja dan sekarang saya tidak bisa keluar," tukas perempuan berusia 40 tahun yang bernama Meizi itu.