Eks Komandan Operasi Khusus AS di Irak Turun Tangan Latih Prajurit Ukraina Lawan Rusia
Foto via @DefenceU

Bagikan:

JAKARTA - Andy Milburn awalnya datang ke Ukraina untuk ikut meliput invasi Rusia. Namun bekas komandan satuan tugas operasi khusus AS untuk memerangi ISIS di Irak itu kini berubah pikiran.

"Hanya menulis tentang hal-hal yang tidak benar-benar memuaskan sama sekali," kata Milburn seperti dikutip dari NBC News, Rabu 4 Mei.

Pensiunan kolonel Marinir itu mengaku belum pernah melihat kekejaman seperti yang dilakukan oleh Rusia di Ukraina. Dia adalah saksi hidup ketika melihat ratusan warga sipil yang dibantai --termasuk anak-anak-- ditemukan setelah pasukan Rusia diusir dari kota Bucha yang berada di luar Kyiv.

“Saya telah melihat banyak kehancuran dan kebobrokan umat manusia,” katanya.

"Bucha adalah sesuatu yang benar-benar…membuat saya mati rasa selama beberapa hari… kendaraan keluarga, setiap penumpang tewas, bukan hanya satu atau dua orang, bukan hanya karena tentara terpicu, tapi jelas menjadi sasaran di sepanjang jalan itu,” katanya.

Milburn lalu membentuk Grup Mozart. Dia juga memanggil mantan komando Inggris dan Amerika lainnya untuk membuat tim veteran operasi khusus yang melatih dan melengkapi tentara Ukraina.

Nama itu dimaksudkan sebagai tandingan Grup Wagner, organisasi tentara bayaran Rusia yang terkenal kejam. Tapi Milburn mengatakan kelompoknya tidak melawan.

“Sangat penting bagi kita untuk mendapatkan orang-orang yang bukan pencari petualangan,” katanya.

“Mereka di sini bukan untuk mengambil senjata, karena mereka memiliki kejelasan moral. Mereka melihat tujuan di sini, dan mereka ingin berada di sini karena alasan itu.”

Jumlah warga sipil di Ukraina yang menjadi korban jiwa sudah lebih dari 3.000 orang sejak Rusia meluncurkan invasi ke negara itu pada 24 Februari, kata OHCHR, Senin, 2 Mei.

OHCHR adalah kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menangani masalah hak asasi manusia.

Jumlah total korban jiwa, yaitu 3.153 orang, sejauh ini menunjukkan kenaikan sebanyak 254 jiwa --menurut data pada Jumat (29/4).

Menurut OHCHR dilansir Antara via Reuter, jumlah total itu sebenarnya kemungkinan lebih tinggi.

Sebagian besar dari ribuan korban jiwa itu tewas akibat ledakan dari berbagai senjata, seperti melalui serangan rudal dan serangan udara, yang menimbulkan dampak luas, kata kantor PBB itu.