Pewawancara Beasiswa LPDP Sebut Mahasiswi Berhijab Manusia Gurun, Fadli Zon: LPDP dari Uang Rakyat <i>Kok</i> Islamofobia?
Politikus Partai Gerindra Fadli Zon. (Instagram @fadlizon)

Bagikan:

JAKARTA - Politikus Partai Gerindra Fadli Zon menilai menormalisasi perilaku Islamofobia tidak dibenarkan dalam lingkup dunia pendidikan.

Hal itu disampaikan Fadli merespons dugaan rasisme Rektor Institut Teknologi Kalimantan (ITK) Budi Santoso Purwokartiko saat mewawancarai calon penerima beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP).

Fadli pun meminta kandidat penerima program Indonesian International Student Mobility Awards (IISMA) LPDP, hasil penyortiran Rektor ITK tersebut sebaiknya diseleksi ulang. 

"Sebaiknya mereka yang terpapar Islamofobia ini segera dihentikan, hasil seleksi dievaluasi," kata Fadli dikutip dari akun Twitternya, @fadlizon, Selasa 3 Mei. 

Rektor ITK tersebut mengunggah pernyataan bernada diskriminasi suku, ras, agama, antargolongan (SARA) di media sosial terkait wawancaranya kepada penerima beasiswa LPDP. Dia menulis mahasiswi yang menutup kepala (hijab) ala manusia gurun berbeda dengan mahasiswi lain yang memiliki keterbukaan pikiran dan cerdas.

Sejauh pengalamannya mengenyam dunia pendidikan di berbagai negara, Fadli mengungkapkan keyakinan maupun agama tidak masuk dalam mekanisme penilaian penerima beasiswa. Anggota DPR itu bilang, beasiswa LPDP yang didanai rakyat sepatutnya tidak dicampuri sentimen agama.

"Saya pernah mendapat beasiswa dari negara Amerika Serikat, Inggris dan Singapura, tak ada dikaitkan dengan keyakinan agama. Kok LPDP yg merupakan beasiswa dari uang rakyat Indonesia bisa "Islamofobia"?" ujar Fadli.

Direktur Utama LPDP, Andin Hadiyanto angkat suara terkait pernyataan Rektor ITK Budi Santoso Purwokartiko. Dia menyebut, LPDP sangat menghargai dan menghormati perbedaan dan keragaman budaya masyarakat Indonesia dan dunia.

"LPDP menjunjung tinggi etika dan adab kepatutan serta toleransi dan tidak memperkenankan dan tidak menyetujui sikap dan ujaran kebencian, serta sikap diskriminisasi termasuk sentimen berdasarkan SARA," tutur Andin dalam keterangan tertulisnya, Selasa 3 Mei.

Andin menambahkan, tulisan Budi Santoso Purwokartiko adalah opini pribadi, namun berpotensi menimbulkan risiko reputasi terhadap kegiatan yang bersangkutan sebagai pewawancara program beasiswa IISMA.

IISMA diketahui program untuk mendanai mahasiswa Indonesia yang melakukan mobilitas di universitas terkemuka di luar negeri selama kurang lebih satu semester. Program itu dilaksanakan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) dengan dukungan penuh LPDP.

Andin mengatakan pihaknya akan segera melakukan koordinasi dengan Kemendikbud Ristek untuk melakukan evaluasi terhadap para pewawancara calon penerima beasiswa IISMA LPDP.

"LPDP akan terus berkoordinasi dengan Kemendikbudristek untuk terus mengevaluasi dan mengawasi pelaksanaan tugas para interviewer untuk menjamin pelaksanaan seleksi program beasiswa yang dikolaborasikan, sesuai dengan ketentuan yang berlaku," ujarnya.

Sebelumnya, Rektor ITK Budi Santoso Purwokartiko mengunggah pernyataan di Facebook. Unggahannya tersebut diduga mengandung ujaran kebencian dan SARA lantaran menyinggung umat muslim yang memakai hijab.

Adapun unggahan Rektor ITK Budi Santosa Purwokartiko di laman Facebooknya pada 27 April sebagai berikut:

Saya berkesempatan mewawancara beberapa mahasiswa yang ikut mobilitas mahasiswa ke luar negeri. Program Dikti yang dibiayai LPDP ini banyak mendapat perhatian dari para mahasiswa. Mereka adalah anak-anak pinter yang punya kemampuan luar biasa. Jika diplot dalam distribusi normal, mereka mungkin termasuk 2,5 persen sisi kanan populasi mahasiswa.

Tidak satu pun saya mendapatkan mereka ini hobi demo. Yang ada adalah mahasiswa dengan IP yang luar biasa tinggi di atas 3.5 bahkan beberapa 3.8, dan 3.9. Bahasa Inggris mereka cas cis cus dengan nilai IELTS 8, 8.5, bahkan 9. Duolingo bisa mencapai 140, 145, bahkan ada yang 150 (padahal syarat minimum 100). Luar biasa. Mereka juga aktif di organisasi kemahasiswaan (profesional), sosial kemasyarakatan, dan asisten lab atau asisten dosen.

Mereka bicara tentang hal-hal yang membumi: apa cita-citanya, minatnya, usaha-usaha untuk mendukung cita-citanya, apa kontribusi untuk masyarakat dan bangsanya, nasionalisme dan sebagainya. Tidak bicara soal langit atau kehidupan sesudah mati. Pilihan kata-katanya juga jauh dari kata-kata langit: insaallah, barakallah, syiar, qadarullah, dan sebagaianya.

Generasi ini merupakan bonus demografi yang akan mengisi posisi-posisi di BUMN, lembaga pemerintah, dunia pendidikan, sektor swasta beberapa tahun mendatang. Dan kebetulan dari 16 yang saya harus wawancara, hanya ada dua cowok dan sisanya cewek.

Dari 14, ada dua tidak hadir. Jadi 12 mahasiswi yang saya wawancarai, tidak satu pun menutup kepala ala manusia gurun. Otaknya benar-benar open mind. Mereka mencari Tuhan ke negara-negara maju, seperti Korea, Eropa Barat dan US, bukan ke negara yang orang-orangnya pandai bercerita tanpa karya teknologi.