JAKARTA - Maraknya pemberitaan terkait pemahaman “saham gorengan” mendorong, manajemen Bursa Efek Indonesia (BEI) meluruskan hal tersebut kepada masyarakat pada umumnya, dan investor di Pasar Modal Indonesia, pada khususnya. Sebelumnya, istilah saham gorengan ini ramai menyusul kasus gagal bayar yang dialami Jiwasraya.
Gagal bayarnya polis asuransi JS Saving Plan Jiwasraya karena salahnya penempatan portofolio investasi. Jiwasraya dikabarkan menyebar investasi pada instrumen saham dan reksa dana yang berkualitas rendah dan berisiko tinggi alias "saham gorengan".
Direktur Pengawasan Transaksi dan Kepatuhan BEI, Kristian S. Manullang menyampaikan, istilah “saham gorengan” seringkali digunakan oleh publik terhadap saham-saham yang memiliki volatilitas tinggi dan tidak didukung oleh fundamental dan informasi yang memadai.
“Dalam menyikapi saham-saham yang memiliki volatilitas tinggi, dan tidak didukung oleh fundamental, serta informasi yang memadai, BEI selalu melakukan tindakan yang sesuai dan memadai untuk mengatasi hal tersebut,” jelasnya di Jakarta, Jumat 10 Januari.
Untuk mempermudah investor, lanjut dia, seluruh tindakan pengawasan Bursa untuk menjaga keteraturan, kewajaran, dan efisiensi dari penyelenggaraan perdagangan efek, dapat dipantau dengan mengakses website BEI.
Direktur Perdagangan dan Pengaturan Anggota Bursa BEI, Laksono Widito Widodo menambahkan, BEI sudah melakukan identifikasi terhadap saham yang diduga saham gorengan. Ia mengatakan, setidaknya ada 41 saham yang disinyalir merupakan saham gorengan.
"Meski begitu, 41 perusahaan itu merupakan saham recehan. Sebab total kontribusi secara nilai terhadap transaksi harian hanya 8,3 persen dari kumulatif full year di 2019," tuturnya.
Namun ia mengaku tak bisa menyebut nama-nama saham yang diduga gorengan itu, karena dalam tahap identifikasi.
Maka itu ia mengatakan, isu tersebut tak mempengaruhi kepercayaan investor di pasar modal. Ia pun optimis perdagangan tahun ini ditargetkan rata-rata nilai transaksi harian bursa bisa mencapai Rp9,5 triliun per hari.
Optimisme tersebut didasari oleh beberapa inisiatif strategis yang telah disiapkan oleh Bursa untuk mencapai target-target pada tahun 2020. Hal itu seperti penyusunan berbagai program pengembangan perdagangan pasar obligasi, program untuk peningkatan literasi dan inklusi pasar modal, program peningkatan perlindungan investor, serta serangkaian program lainnya yang mendukung efisiensi proses pencatatan.
Lebih lanjut, ia juga menjelaskan soal market maker. Asal tahu saja, dalam penyelenggaraan perdagangan pasar modal, istilah market maker sering beredar dan sudah menjadi hal yang umum praktiknya di bursa-bursa lain di dunia.
“Market maker adalah pihak yang ditunjuk oleh Bursa untuk selalu menyediakan kuotasi bid and offer dalam jumlah yang memadai. Dalam pelaksanaan dan pengembangannya, Bursa akan terus mengkaji aturan mengenai market maker agar ke depannya dapat meningkatkan likuiditas serta kualitas perdagangan, yang pada akhirnya dapat meningkatkan jumlah investor di pasar modal,” jelasnya.
Laksono juga optimistis, BEI dapat mengimplementasikan program-program pengembangan pasar modal yang sudah direncanakan, dengan berkolaborasi bersama Pemerintah, Otoritas Jasa Keuangan, Self-Regulatory Organization, Perusahaan Tercatat, dan Anggota Bursa.