SURABAYA-Keputusan Presiden Joko Widodo untuk melarang ekspor CPO dan minyak goreng pada Kamis, 28 April mendapat dukungan Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti. Namun menurut LaNyalla, kebijakan tersebut hanya terapi kejut dan bersifat karitatif (menyenangkan rakyat). Akan tetapi belum menyentuh persoalan yang fundamental.
“Presiden sepertinya sengaja memberi terapi kejut saja kepada semua pihak. Baik para pengusaha, maupun para pembantunya yang terkait soal itu. Tetapi saya yakin segera dibuka kembali. Karena total jumlah produksi tidak bisa diserap di dalam negeri,” ujar LaNyalla saat reses di Jatim, Sabtu, 23 April.
LaNyalla mengatakan bahwa bukan itu jurusnya. Menurutnya jurus yang dibutuhkan terkait dengan keberanian pemerintah mengubah arah kebijakan perekonomian nasional yang sudah telanjur menyerahkan hajat hidup orang banyak kepada mekanisme pasar.
“Jurus yang paling jitu adalah dengan kesadaran kita sebagai bangsa untuk melakukan koreksi fundamental arah kebijakan perekonomian nasional kita dalam perspektif negara kesejahteraan, sesuai amanat Pasal 33 ayat 1, 2 dan 3. Bukan ayat 4 hasil Amandemen,” kata La Nyalla dalam keterangan pers yang diterima VOI.
BACA JUGA:
Menurut LaNyalla, terhadap semua hajat hidup orang banyak, terutama yang menyangkut sumber daya alam, negara harus hadir dalam lima afirmatif. Yaitu; kebijakan, pengurusan, pengaturan, pengelolaan dan pengawasan. Sehingga tidak bisa diberikan begitu saja ke swasta, apalagi asing. Lalu negara terima bea ekspor dan royalti.
“Apalagi dalam perkebunan sawit, dana dari pungutan ekspor yang dikumpulkan di BPDPKS (Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit), penggunaannya ditentukan oleh Komite Pengarah, yang pimpin Menko Perekonomian, yang melibatkan empat pengusaha Sawit besar, terutama terkait program BioDiesel,” imbuhnya.
Dari triliunan dana yang terkumpul, 80 persen digelontorkan kepada sekitar 10 perusahaan besar Kelapa Sawit untuk subsidi program BioDiesel. Sisanya 5 persen untuk peremajaan sawit rakyat.