JAKARTA - Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej mengatakan aspek yang ditonjolkan dalam UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) adalah keadilan restoratif atau restorative justice.
"Meskipun ini namanya adalah UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, tetapi aspek pembalasan, aspek keadilan retributif itu bukan merupakan suatu hal yang utama. Ada aspek lain yang kami (Pemerintah) tonjolkan di dalam UU ini, yaitu restorative justice," kata Eddy dalam webinar "UU TPKS: Pencegahan, Penanganan, dan Keadilan untuk Korban" di YouTube Rumah Pemilu, seperti dipantau dari Jakarta, Jumat 22 April.
Penerapan keadilan restoratif dalam UU TPKS tersebut terlihat pada orientasi yang memulihkan korban, tambahnya.
"Dan pemulihan itu, dia berjalan secara simultan dengan proses hukum. Harus betul-betul korban itu dipastikan, dijamin haknya untuk mendapat pemulihan," katanya.
Selain menjamin pemulihan untuk korban, lanjutnya, UU TPKS juga memiliki sifat rehabilitatif, yakni tidak hanya memberikan rehabilitasi kepada korban, melainkan juga kepada pelaku kekerasan seksual.
"Karena pelaku kekerasan seksual itu kan tidak hanya orang yang dewasa, ada juga pelaku anak-anak," tukasnya.
Apabila dalam sebuah kasus aparat penegak hukum berbenturan dengan pelaku kekerasan seksual yang merupakan anak di bawah umur, lanjutnya, maka suka tidak suka dan mau tidak mau, aspek kepentingan anak itu harus dilindungi.
"Sehingga kami masukkan di situ ada rehabilitasi juga," katanya.
BACA JUGA:
Dia mengatakan sempat membahas permasalahan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), khususnya terkait ketersediaan alat bukti yang sering menjadi permasalahan dalam penanganan kasus kekerasan seksual.
"KUHAP kita dibuat 41 tahun yang lalu. Pasti ada dinamika masyarakat yang menyebabkan KUHAP tidak bisa mengakomodasi berbagai kejahatan dimensi baru, termasuk di dalamnya Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik (KSBE)," jelasnya.
Oleh karena itu, para pembentuk UU melakukan berbagai macam inovasi dan terobosan hukum untuk mengatasi permasalahan tersebut melalui UU TPKS.
"Sehingga tidak ada lagi alasan bagi penyidik maupun penuntut umum untuk menolak kasus dengan alasan tidak cukup bukti," ujarnya.