Bagikan:

JAKARTA - Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rusli Abdullah, meminta pengusutan terhadap penundaan penerbitan Surat Persetujuan Impor (SPI) bawang putih yang dilakukan Kementerian Perdagangan (Kemendag) RI. Rusli menduga penundaan penerbitan SPI bawang putih merupakan modus untuk mempermainkan harga di pasaran yang berimbas terhadap kebutuhan masyarakat.

"Usut jika memang ada kesengajaan menunda impor bawang putih dengan tujuan menaikkan harga," ujar Rusli dalam keterangannya, Minggu 4 Oktober.

Saat ini, harga bawang putih di pasaran mulai merangkak naik mencapai Rp35 ribu per kilogram. Sementara importir mengeluhkan Surat Persetujuan Impor (SPI) mereka tidak kunjung dikeluarkan oleh Kemendag.

Rusli menyatakan pemerintah melalui Kemendag harus segera menerbitkan SPI bawang putih guna menekan harga di pasaran.

Adapun menurut Pengamat kebijakan publik Agus Pambagyo, keluhan dari sejumlah importir soal SPI bukan hal baru. karena adanya indikasi "ongkos politik".

"Itu berita lama. Kalau belum diberesin importir-importir yang harus bayar biaya-biaya politik, ya akan terus begini sampai kapan pun. Tanya saja Mentan, kan dia yang ngasih rekomendasinya. Lalu kan yang kasih izin impor mendag, tanya Mendag. Itu sudah biasa apalagi kalau jelang pilkada, pemilu. Kan politik gitu. Kalau tidak diambil tindakan ya akan begitu terus. Kalau diambil tindakan, tidak ada biaya politik," tuturnya.

Agus menegaskan, kebiasaan ini sangat mengganggu ekonomi dan menyalahi aturan atau tindak kriminal.

"Itu sama saja kriminal tapi dibiarkan sampai 20 tahun. Kan itu ada fee dari importirnya, semua orang tahu itu. Kalau 1 kilo 1 perak (rupiah) saja, berapa yang masuk?" tuturnya.

Ia menegaskan, impor bisa dilakukan saat kebutuhannya kritis, terlebih bawang putih termasuk komoditas yang harus diimpor dan berpotensi banyak barang ilegal.

"Pesannya 10 ton, datangnya 50 ton. Biasa itu, bukan hal aneh. Apalagi kalau mau deket-deket pilkada, deket-deket pemilu. Karena biaya politik paling mudah ya dari masukin barang, semua orang tahu, bukan barang aneh," tuturnya.

Agus menegaskan, kebijakannya untuk impor itu harus ada ukuran yang jelas. Sehingga apa benar kita perlu impor, dan berapa jumlahnya. Sementara yang bisa mengeluarkan angka adalah Kementan, lalu merekomendasikan ke Kemendag. 

"Misalnya, Kementan keluarkan data impor bawang putih untuk Indonesia barat berapa, timur berapa, tengah berapa. Gitu misalnya. Secara aturan kebijakan, tidak ada masalah itu. Cuma persoalannya siapa yag impor, ngapain banyak-banyak. Coba cari saja yang impor siapa, apa hubungannya dengan Mendag. Itu kan gampang. Saya sih tidak menuduh, tapi memang begitu caranya," jelas Agus.

Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Didi Sumedi menjelaskan, stok bawang putih yang beredar saat ini merupakan bawang putih legal. Pernyataannya ini sekaligus menampik kecurigaan sejumlah pihak yang mempertanyakan masih beredarnya bawang putih, di tengah belum diterbitkannya lagi SPI buat importir bawang putih. 

"Itu mungkin stok yang memang masih ada, sehingga masih bisa memenuhi permintaan dalam negeri dan bisa menjaga harga yang reasonable," ujarnya.

Menurutnya, sekalipun tak mencukupi, sejatinya permintaan dalam negeri juga dipenuhi oleh produksi bawang putih lokal.

"Tergantung sekali tidak, Indonesia masih memiliki produksi bawang putih. Memang kekurangan supply atas demand, kita impor. Nah, pemerintah harus bisa menjaga juga, jangan sampai jika banjir impor bawang putih harga akan jatuh. Akibatnya petani tidak ada insentif untuk berproduksi. Ini tidak boleh terjadi," tuturnya. 

Hanya saja, Didi tak mau berkomentar banyak soal SPI yang tak kunjung terbit yang dikeluhkan sejumlah importir. Ia juga belum bisa memastikan kapan SPI untuk para importir bisa diterbitkan. 

"Insyaallah dalam waktu dekat terbit," ucapnya.