Bagikan:

JAKARTA - Hasil jajak pendapat yang dikeluarkan Lembaga Survei Indikator Politik Indonesia menyebut tingkat kepercayaan publik kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengalami tren penurunan selama tiga tahun terakhir. Tapi, komisi antirasuah justru melihat sebaliknya dengan menyatakan telah terjadi peningkatan optimisme publik selama beberapa bulan belakangan.

Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi mengatakan tingkat kepercayaan publik kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengalami tren penurunan selama tiga tahun terakhir. Hal ini disebabkan karena adanya revisi undang-undang yang dituangkan menjadi UU KPK Nomor 19 Tahun 2019.

Per Februari 2019, angka kepercayaan publik terhadap KPK menurun menjadi 72 persen, menurun lagi pada November 2021 menjadi 71,1 persen. Angka ini mulai meningkat sedikit pada Februari 2022 menjadi 74 persen.

"Sejak 2018 itu pertama kali (kepercayaan publik, red) KPK, kita deteksi cukup tinggi. Lalu 2019, 2020, 2021 sampai 2022 itu trust-nya turun," ungkap Burhanuddin Muhtadi dalam pemaparan survei, Minggu, 3 April.

Hasil survei ini kemudian ditanggapi oleh Plt Juru Bicara KPK Bidang Penindakan Ali Fikri. Mengambil sisi positif dari survei itu, dia bilang yang terjadi saat ini sebenarnya telah terjadi peningkatan optimisme publik terhadap upaya pemberantasan korupsi selama beberapa bulan belakangan.

"Survey tersebut menyebut bahwa hasil pengukuran pada November 2021 mencapai 71,1 persen, kemudian Desember 2021 mencapai 71,7 persen, dan kali ini, mencapai 73,8 persen," kata Ali dalam keterangan tertulisnya, Senin, 4 April.

Dengan kondisi ini, Ali menyebut, terjadi peningkatan kepercayaan secara signifikan terhadap lembaganya hingga 2,1 persen. "Perbaikan indeks penilaian tersebut menunjukkan persepsi publik terhadap upaya pemberantasan korupsi, mengalami peningkatan," tegasnya.

Meski begitu, angka tersebut dinilainya bukan hanya karena kerja keras KPK saja. Ali bilang, ini adalah hasil kerja bersama komisi antirasuah selalu melibatkan dan berkolaborasi dengan berbagai pemangku kepentingan lainnya.

Lebih lanjut, dirinya juga memamerkan hasil pengukuran lembaga survei lainnya yang menunjukkan adanya peningkatan terhadap upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.

Hal ini tercermin dari pengukuran Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang diukur dengan skala internasional dan Survei Penilaian Integritas (SPI) yang diukur secara nasional.

"CPI Indonesia yang dirilis awal tahun ini mengalami peningkatan, baik dari skor indeks maupun peringkatnya. Indeksi CPI naik 1 poin, dengan perbaikan peringkat sebesar 6 tingkat. Kemudian hasil SPI, yang diukur dengan 250ribu lebih responden, menunjukkan skor indeks 72,4, di atas rata-rata nasional sebesar 70," jelas Ali.

"Kami berharap, hasil positif dari capaian ketiga survey ini menjadi trigger bagi KPK dan seluruh pemangku kepentingan untuk terus meningkatkan trend positif upaya-upaya pemberantasan korupsi secara menyeluruh, baik melalui pendekatan strategi pendidikan, pencegahan, maupun penindakan," imbuhnya.

Meski KPK memandang hasil survei itu secara positif, Indonesia Corruption Watch (ICW) justru menilai sebaliknya. Peneliti ICW Kurnia Ramadhana menilai ada Presiden Joko Widodo (Jokowi), DPR RI, dan lima pimpinan KPK terutama Ketua KPK Firli Bahuri jadi pihak yang bertanggung jawab atas merosotnya tingkat kepercayaan publik pada KPK.

"Ada tiga pihak yang paling bertanggung jawab atas situasi KPK saat ini. Pertama adalah presiden dan kedua DPR RI," kata Peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangan tertulisnya kepada wartawan.

Dua institusi, sambung Kurnia, ikut andil dalam merosotnya kepercayaan KPK karena mereka telah merivisi Undang-Undang KPK. "Dan memasukkan komisioner bermasalah," tegasnya.

Sementara pimpinan KPK, dalam hal ini Firli Bahuri juga ikut andil membuat masyarakat tak lagi percaya dengan KPK. Sebab, banyak kontroversi yang mereka lakukan ditambah lagi makin menurunnya angka penindakan selama mereka menjabat.

"Sehingga wajar jika kemudian masyarakat enggan menaruh kepercayaan kepada KPK," ungkap Kurnia.

Dengan berbagai kondisi ini, ICW menilai, kondisi KPK saat ini sulit untuk diselamatkan. Apalagi, jika undang-undang yang melemahkan lembaga ini masih berlaku.

Lagipula, Kurnia menilai, UU KPK yang melemahkan komisi antirasuah tak mungkin direvisi. Alasannya, Presiden Jokowi dan DPR RI sejak awal memang tak berniat untuk memperkuat KPK.

Terakhir, Kurnia bilang, menurunnya tingkat kepercayaan publik kepada KPK harusnya bisa jadi momentum yang tepat bagi Firli Bahuri untuk mundur dari jabatannya. "Sebab dirinya sudah gagal membawa KPK ke arah yang lebih baik," pungkasnya.