Kepala BKPM Bangun Pesantren Berstandar Internasional di Lebak
Kepala BKPM Bahlil tinjau lokasi pesantren di Lebak/Foto: Antara

Bagikan:

LEBAK - Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia membangun pesantren berstandar internasional di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.

"Pesantren itu nantinya menampung anak yatim piatu mulai dari Aceh sampai Papua. Pendidikan pesantren itu gratis," kata Bahlil Lahadalia di Lebak, Kamis 31 Maret.

Lokasi pesantren berstandar internasional di Kecamatan Cileles Kabupaten Lebak seluas 20 hektare memakan biaya Rp89 miliar dan tahap pertama pembangunan pesantren sekitar Rp44 miliar.

Pembangunan tahap pertama ditargetkan rampung sampai Desember 2022.

"Kami tahun dengan untuk tahap pertama menampung sebanyak 400 anak, " kata Bahlil dikutip Antara.

Menurut dia, pembangunan pesantren berstandar Internasional itu ingin mencetak pendidikan yang berkualitas dan bermutu, sehingga dapat melahirkan para ekonom juga pengusaha, sehingga dapat menyiarkan agama Islam.

Selama ini kebanyakan pesantren hanya mencetak untuk pandai mengaji dan berceramah.

Namun, pihaknya mendesain pesantren di sini agar mereka mampu mensyiarkan Islam dengan berniaga.

Sebagai Rasulullah bersama pengikutnya kurang lebih sebanyak 10 orang hijrah dari Mekkah ke Madinah dan pertama Rasulullah hijrah melalui jalur ekonomi dengan membangun pasar, infrastruktur jalan dan masjid sebagai sentra komunikasi.

Dengan demikian,pihaknya berharap lulusan di pesantren ini dapat melahirkan para ekonomi juga pebisnis dan pengusaha, sehingga dapat mensyiarkan agama Islam.

Pendidikan pesantren itu bukan kuantitas, tetapi lebih mengutamakan kualitas, karena berstandar internasional dan pengelolanya melibatkan Kasat Wapres Prof Iriani dan Rektor IPB Prof Arif Satria.

"Kami inginnya anak-anak itu setelah SMA dapat didistribusikan ke perguruan- perguruan tinggi ternama, " katanya menjelaskan.

Ia mengaku membangun pesantren itu bertujuan untuk memberikan kemudahan terhadap anak yatim piatu mendapatkan pendidikan.

Sebab, pengalaman dirinya dulu ketika sekolah di SMP di Papua sangat susah, karena harus berjalan kaki hingga menempuh perjalanan pulang pergi 8 km.

Perjalanan jauh itu terpaksa berhenti dan tidak tamat pendidikan SMP, karena kenalan.

Namun, dirinya tamat SMP di Papua setelah mengikuti pendidikan persamaan dan kualitasnya lebih baik dibandingkan sekolah reguler.

"Kami berharap pesantren internasional memiliki pendidikan yang berkualitas untuk melahirkan sumber daya manusia (SDM) yang handal dan unggul juga memiliki karakter akhlak mulia," katanya.