Pertimbangan MUI Sulsel yang Bolehkan Warung Makan Buka di Bulan Puasa
Ketua MUI Sulsel, Prof KH Najamuddin H Abd Safa (tengah), Wakil Ketua MUI Sulsel, KH Mustari Busrah (kanan) dan Sekertaris MUI Sulsel KH Muammar Bakry (kiri)/ Antara

Bagikan:

MAKASSAR - Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sulawesi Selatan, memberikan toleransi kepada pedagang warung makan yang akan membuka usahanya di saat umat Muslim menjalankan ibadah puasa tahun ini, namun diingatkan tetap menghormati orang berpuasa.

"Boleh saja, tapi dengan menutup sebagian warung dengan kain atau sejenisnya agar tidak kelihatan penuh, demi menghargai dan menghormati orang sedang berpuasa," ujar Sekertaris MUI Sulsel, KH Muammar Bakry di Makassar, dilansir Antara, Senin, 28 Maret.

Menurut dia, kebijaksanaan itu diberikan karena ada faktor lain salah satunya musafir atau orang datang dari jauh membutuhkan makanan saat tiba di Makassar, serta orang yang memiliki halangan tetap, haid maupun sakit.

Kendati demikian, pemilik warung harus menghormati orang berpuasa dengan disarankan tidak membuka warung secara vulgar seperti halnya di luar bulan Ramadhan, termasuk mengatur teknis usahanya agar tidak menimbulkan gangguan bagi orang berpuasa.

"Tentu tidak semua masyarakat beraktivitas di jalan adalah warga Makassar, bisa saja ada warga jauh dari luar tiba Makassar. Jadi tidak wajib baginya (musafir) berpuasa dan akan mencari makanan di warung makan," ujar Ketua FKPT Sulsel ini menjelaskan.

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Kampus UIN Alauddin Makassar ini mengemukakan, dalam agama Islam diberikan toleransi bagi umat yang sedang berhalangan tidak menjalankan puasa, walaupun hukum berpuasa wajib dilaksanakan.

"Kita tidak bisa menganggap semua orang tidak punya halangan, atau memiliki uzur (urusan) syar'i. Tapi bagi yang tidak berpuasa harus menghormati orang berpuasa," katanya menekankan.

Tarawih dilonggarkan

Selain toleransi bagi warung makan, MUI juga telah mengeluarkan fatwa tentang pelaksanaan ibadah masa pandemi COVID-19 dengan melihat perkembangan penyebaran terus membaik dan terkendali, ditandai angka sebaran mengalami tren penurunan serta kebijakan pemerintah memberikan kelonggaran aktivitas sosial termasuk peniadaan jarak.

Dari hasil rapat pimpinan Komisi Fatwa MUI pada 10 Maret 2022, Dewan Pimpinan MUI menyampaikan bayan atau penjelasan Fatwa MUI Nomor 31 tahun 2020 dikti A.3 menyatakan mencegah penularan COVID-19 penerapan atur jarak saat shalat fardu dan Jumat berjamaah dengan merenggangkan saf hukumnya boleh, shalatnya sah.

Namun, seiring melandainya penyebaran virus, pelaksanaan shalat berjamaah dikembalikan ke hukum asal (azimah), dengan merapatkan dan meluruskan saf (barisan) shalat berjamaah baik fardu (wajib) Jumat, dan tarawih pada bulan puasa tahun ini, karena itu merupakan keutamaan dan kesempurnaan berjamaah.

"Setelah dikeluarkan bayan ini, shalat berjamaah dikembalikan seperti semula, tidak lagi diharuskan menjaga jarak saat shalat berjamaah, baik shalat fardu, Jumat maupun Shalat Tarawih," kata Muammar menambahkan.