Bagikan:

JAKARTA - Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu (Perludem), Titi Anggraini mengkritik kemampuan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam membangun komunikasi terhadap publik terkait proses tahapan Pilkada 2020 di tengah pandemi COVID-19. Menurut dia, komunikasi tersebut sangat buruk.

Titi mengatakan, KPU harus introspeksi diri. Jika ini dibiarkan, publik justru akan mempertanyakan eksistensi KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu yang dibentuk konstitusi.

Lebih lanjut, Titi menjelaskan, komunikasi publik yang buruk ini tidak hanya terjadi di pilkada 2020. Menurut Titi, buruknya komunikasi publik KPU sudah berlangsung sejak pemilu 2019. Saat itu muncul kontroversi dan spekulasi soal sistem hitung (situng), namun respons penyelenggara pemilu sangat lambat.

"Komunikasi publik KPU bagi saya sangat buruk. Saya khawatir kalau KPU tidak memperbaiki cara berkomunikasi orang lebih percaya Kemendagri sebagai penyelenggara Pilkada daripada kepada KPU," katanya, dalam diskusi virtual Polemik bertajuk "Pilkada di Tengah Pandemi", Sabtu, 26 September.

Titi mengatakan, semestinya dalam penyelenggaraan pilkada yang harus berada di baris terdepan itu KPU. Sebab, sebagai lembaga yang diamanatkan oleh konstusi, KPU harus bisa mempertahankan posisi itu sebagai penyelenggara pemilu.

"Di tengah situasi pandemi ini kan mengubah kita dalam banyak hal untuk berkomunikasi, berinteraksi. Tetapi ternyata dalam sejauh ini pengamatan kami pemerintah itu seolah-olah berada jauh lebih di depan ketimbang penyelenggara pemilu," tuturnya.

Suksesnya penyelenggaran pemilu negara lain di masa pandemi COVID-19, kata Titi, kepercayaan publik yang tinggi. Kepercayaan itu dibangun dengan komunikasi publik yang baik oleh penyelenggara pemilu dan pemerintah setempat.

"Jadi salah satu yang menjadi catatan dalam praktik Pemilu di dunia internasional adalah kemampuan membangun komunikasi publik yang jelas dan transparan, soal bagaimana perkembangan dan keamanan kesehatan tahapan dan seterusnya," jelasnya.

Selain itu, Titi juga mengingatkan, agar KPU memikirkan akses pemberian informasi dalam proses penyelenggaran Pilkada 2020 kepada masyarakat kelompok rentan. Karena, tidak semua masyarakat bisa menjangkau dengan pendekatan vitrual dan digital.

Menurut Titi, hingga saat ini belum ada skema yang konkrit untuk mengakomodir layanan askes informasi bagi kelompok rentan ini. Padahal, mereka juga merupakan pemilik hak suara.

"Seperti, masyarakat adat, kelompok miskin perempuan yang mungkin terdomestikasi, penyandang disabilitas dan seterusnya itu yang saya kira juga harus kita pikirkan  di antara banyak narasi-narasi soal digital karena memang tidak semua bisa dijangkau dengan digital," jelasnya.

Lebih lanjut, Titi mengatakan, jika hanya mengandalkan digital dalam menyebarkan infomasi, maka yang paling diuntungkan itu adalah calon kepala daerah petahanan.

"Karena yang paling punya modalitas ya petahana sebenarnya," tuturnya.