Bagikan:

JAKARTA - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron mengibaratkan Survei Penilaian Integritas (SPI) sebagai alarm antimaling.

"Tidak mungkin pemilik rumah akan diam saja jika mengetahui ada maling yang menerobos rumahnya. Begitu juga terhadap ASN di setiap k/l (kementerian/lembaga), mereka diharapkan mau merespons dengan serius terhadap masukan yang menyebut masih ada praktik korupsi di lembaganya," kata Ghufron dikutip Antara dari keterangan tertulis, Selasa, 22 Maret.

SPI adalah survei yang digelar KPK untuk memotret integritas sebuah lembaga pemerintah melalui tiga sumber, yaitu pegawai di lembaga tersebut (internal), publik yang pernah berhubungan atau mengakses layanan lembaga tersebut (eksternal), dan dari kalangan ahli (ekspert).

Berdasarkan catatan KPK, pada tahun 2021, SPI melibatkan lebih dari 250 ribu responden dan dilakukan terhadap 98 kementerian/lembaga, 34 pemerintah provinsi, dan 508 pemerintah kabupaten/kota.

Ada pun dari hasil SPI 2021 diketahui para responden meyakini praktik suap dan gratifikasi dapat ditemui di 99 persen instansi peserta survei. Lalu mereka juga meyakini, perdagangan pengaruh (trading in influence) terjadi di 99 persen instansi.

Kemudian, para responden juga meyakini penyalahgunaan fasilitas kantor terjadi di 99 persen instansi, dan responden juga meyakini ada penyalahgunaan barang dan jasa di seluruh instansi atau 100 persen institusi yang disurvei KPK menjadi tempat terjadinya tindak pidana korupsi penyalahgunaan barang dan jasa.

"Tetapi kalau mau jujur-jujuran, sebenarnya kita tidak perlu kaget dengan temuan itu. Soalnya, sejak 2004-2021, penyuapan menjadi perkara tindak pidana korupsi (tipikor) terbanyak yang ditindak KPK," ungkap Ghufron.

Sebagaimana catatan KPK sejak 2004-2021, penyuapan ada sebanyak 791 perkara, pengadaan barang dan jasa sebanyak 284 perkara, dan penyalahgunaan anggaran sebanyak 50 perkara.

Menurut Ghufron, KPK menggunakan prinsip "one is too many" dalam menganalisis hasil SPI. Artinya, setiap responden yang menyatakan mereka melihat atau mendengar adanya kejadian korupsi di instansinya akan diberikan bobot yang tinggi pada jawabannya.

"Prinsipnya begini, korupsi itu merupakan kejahatan yang tersembunyi seperti gunung es. Jadi, jika ada satu saja responden yang berani mengungkapkan kejadian korupsi di instansinya, itu adalah sinyal bahwa fakta kejadian korupsi bisa lebih banyak daripada fakta yang diungkapkan oleh sebagian kecil responden," katanya.

Pada tahun 2022, KPK kembali menggelar SPI yang rangkaian kegiatannya dimulai pada bulan Juni dengan jumlah responden SPI akan bertambah menjadi lebih dari 300 ribu orang.

Ghufron mengharapkan responden SPI akan memberi jawaban yang sebenar-benarnya jika memang terjadi praktik korupsi di instansi mereka.

Ia mencontohkan jika mengetahui atau bahkan melihat langsung adanya praktik jual beli jabatan, penyuapan, gratifikasi atau petugas yang tidak profesional saat melakukan pelayanan publik.

"Supaya SPI ini bisa mendapat gambaran masalah yang memang riil terjadi di instansi peserta survei sehingga KPK juga bisa memberikan rekomendasi yang sesuai dengan masalah yang terjadi," tuturnya.

Namun, jika peserta survei tidak mengisi jawaban dengan benar maka rekomendasi yang diberikan KPK nantinya juga tidak bisa menyelesaikan persoalan yang ada di instansi tersebut. Pada akhirnya, kata dia, tujuan SPI sebagai salah satu upaya mencegah korupsi tidak terlaksana.

Selain SPI, ia menjelaskan KPK juga menyediakan sistem pencegahan korupsi lainnya, yaitu monitoring center for prevention (MCP). Jika SPI dikerjakan bersama dengan Biro Pusat Statistik (BPS), MCP dibuat bersama Kementerian Dalam Negeri dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

Ghufron optimistis jika suatu instansi mendapat skor yang baik untuk keduanya, korupsi bisa ditekan di organisasi tersebut.

"Karena memang prinsipnya sederhana saja. Kalau suatu instansi mendapat nilai SPI dan MCP bagus tidak akan terjadi operasi tangkap tangan (OTT) di sana," kata dia.