JAKARTA - Pemerintah menyebut saat ini Indonesia tengah memasuki fase deselerasi COVID-19. Deselerasi adalah satu fase di bawah pandemi yang memiliki kondisi jumlah kasus terus terkendali dan mengalami penurunan akibat terbentuknya imunitas masyarakat.
Menanggapi hal ini, epidemiolog dari Griffith University Australia, Dicky Budiman mengaku dirinya masih ragu bahwa Indonesia sudah memasuki fase deselerasi.
"Saya sih belum merasa confidence (yakin) betul bahwa kita dalam fase deselerasi. Secara umum, ini masih awal banget deselerasinya," kata Dicky kepada VOI, Rabu, 16 Maret.
Dicky membenarkan bahwa saat ini memang terjadi penurunan kasus COVID-19. Sebagaimana yang diungkapkan Satgas COVID-19, kasus konfirmasi positif telah turun 63 persen dari gelombang Omicron sejak pertengahan Februari lalu.
Meski demikian, Dicky menegaskan angka persentase kasus dari pemeriksaan spesimen atau positivity rate COVID-19 di Indonesia masih tinggi.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, positivity rate orang pada minggu ini masih di angka 13,49 persen. Sementara, positivity rate yang terkendali sebesar 5 persen sesuai standar WHO.
"Angka tes positivity rate kita ini masih jauh di atas 5 persen, bahkan cenderungnya masih naik turun. Jadi, deselerasi secara umum ini masih belumlah solid untuk kita katakan, karena dari sisi tes positivity rate masih hampir tiga kali lipat dari normal," jelas Dicky.
Lebih lanjut, meskipun pemerintah menyebut Indonesia secara nasional sudah mengalami fase deselerasi, namun belum tentu kondisi tersebut serupa di semua provinsi maupun kabupaten/kota.
Karenanya, Dicky mengingatkan pemerintah daerah harus tetap menjaga upaya testing, tracing, dan treatment (3T) agar tetap tidak mengendur.
"Klaim masalah deselerasi yang merujuk pada kasus harian sudah menurun menjadi kurang kuat ketika tesnya ternyata masih ada yang belum terdeteksi. Ini yang harus kita cermati dan hati-hati," urainya.
Sebelumnya, Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19 Reisa Broto Asmoro menyebut bahwa Indonesia saat ini tengah masuk dalam masa deselerasi.
Menurut dia, agar dapat memasuki fase itu dengan aman dan terkendali, ia meminta seluruh pihak untuk bekerja sama melengkapi dosis ketiga minimal tiga bulan setelah suntik dosis kedua, agar imunitas tetap terbentuk dan memberikan proteksi pada diri juga lingkungan sekitar.
“Kementerian Kesehatan melalui media sosialnya juga sudah ada informasi terkait padu padannya. Kalau kemarin pakai Sinovac, saya bisa pakai apa itu bisa dicari tahu biasanya petugas fasilitas kesehatan juga sudah paham,” kata Reisa.
Kemudian, bagi masyarakat yang sudah mendapatkan dosis lengkap namun setelahnya positif terkena COVID-19 dan bergejala ringan atau sedang, tetap dapat melakukan suntik dosis ketiga dalam rentan waktu minimal satu bulan setelah dinyatakan sembuh.
“Jadi bukan dari pertama kali dikonfirmasi positif. Tapi setelah sembuh jaraknya itu satu bulan,” ujar dia.