JAKARTA - Tersangka kasus tindak pidana terorisme, Sunardi, tewas dalam rangkaian proses penangkapan di Sukoharjo, Jawa Tengah. Densus 88 Antiteror terpaksa menembaknya karena melakukan perlawanan yang agresif.
Perlawanan agresif Sunardi dilakukan saat mencoba melarikan diri dari penangkapan. Dia berupaya menabrak petugas dengan mobil yang dikendarainya.
"Tersangka melakukan perlawanan dengan sangat agresif dengan menabrakan mobil ke arah petugas," ujar Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Ahmad Ramadhan kepada wartawan, Jumat, 11 Maret.
Upaya melarikan diri dan tindakan agresif Sunardi yang belakangan diketahui berprofesi dokter itu bermula saat dia melintas di Jalan Bekonang, Sukoharjo, Jawa Tengah, Rabu, 9 Maret.
Kala itu, hari sudah malam, Densus 88 yang menang telah menetapkan Sunardi sebagai tersangka memutuskan untuk menangkapnya.
Anggota Densus 88 pun mencoba menghentikan laju kendaraannya dengan cara mencegat Sunardi. Saat inilah perlawanan agresif dilakukan tersangka.
Sunardi mencoba menabrak anggota Densus 88 dengan mobil yang dikendarainya. Bahkan, berkendara secara tak beraturan dengan tujuan menjatuhkan anggota yang berada di bagian belakang mobil.
"Tersangka tetap menjalankan mobilnya dan melaju dengan kencang serta menggoyang setir ke kiri kanan atau zigzag yang tujuannya untuk menjatuhkan petugas," kata Ramadhan.
Tak hanya itu, Sunardi pun menabrak mobil dan motor yang melintas di sekitar lokasi penangkapan. Sehingga, tindakannya itu telah membahayakan masyarakat dan petugas.
"Tersangka juga menabrak kendaraan roda empat dan roda dua milik masyarakat yang sedang melintas, petugas mengambil tindakan tegas dan terukur kepada tersangka SU," ungkapnya.
Dengan tindakan dari Densus 88 itu, Sunardi mengalami luka tembak di punggung atas dan bagian pinggul kanan. Sehingga, dia yang telah tak berdaya langsung dibawa ke rumah sakit oleh petugas.
Hanya saja, Sunardi tak dapat ditolong. Sebab, dokter ini menghembuskan nafas terakhirnya saat perjalanan ke rumah sakit.
Tindakan tegas terukur yang dilakukan Densus 88 ini sempat dipertanyakan sejumlah pihak. Ada yang mengganggap Sunardi tak pantas diberi tindakan tegas karena masih merupakan terduga teroris.
Tapi, Polri menyatakan Sunardi bukalah terduga teroris. Melainkan telah berstatus sebagai tersangka.
"Sebelum dilakukan penangkapan adalah tersangka tindak pidana terorisme bukan terduga," kata Ramadhan.
Penetapan tersangka terhadap pria asal Sukoharjo itu karena keterlibatannya dalam kelompok teroris. Dia disebut merupakan anggota organisasi jaringan teroris Jamaah Islamiyah (JI) hingga penasehat amir atau ketua kelompok.
BACA JUGA:
"Beberapa keterlibatan antara lain selaku anggota organisasi teroris JI, kedua pernah menjabat sebagai Amir Khidmat, ketiga deputi dakwah dan informasi, sebagai penasihat amir organisasi teroris JI, penanggung jawab Hilal Ahmar Society," ungkap Ramadhan.
Yayasan terlarang
Hilal Ahmar Society merupakan yayasan terlarang. Sebab, terafiliasi dengan jaringan JI.
Yayasan Hilal Ahmar Society dinyatakan terlarang berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 2015. Sebab, aktivitas yayasan itu dianggap mendukung aksi terorisme.
Salah satu contohnya, memberangkatkan pengikut Foreign Terrorist Fighter (FTF) ke Suriah. Di mana, semua prosesnya baik administrasi dan biaya sudah diselesaikan yayasan tersebut.
"Tugasnya adalah merekrut, mendanai, memfasilitasi perjalanan pengikut FTF ke Suriah," ungkap Ramadhan.
Sementara soal keputusan anggota Densus 88 memberikan tindakan tegas terukur, lanjut Ramadhan, telah sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Terlebih, dalam Undang-Undang nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian RI dan Peraturan Kapolri (Perkap) nomor 1 tahun 2009 pun tindakan anggota Densus sudah dianggap benar. Di mana, tindakan tegas terukur bisa dilakukan jika tersangka membahayakan masyarakat dan petugas.
"Melakukan tindakan tegas terukur dengan alasan tindakan tersebut dilakukan karena tindakan tersangka sudah membahayakan atau mengancam keselamatan jiwa masyarakat dan petugas Polri," katanya.
"Tindakan ini juga sudah sesuai Peraturan Kapolri nomor 8 tahun 2009 tentang implementasi prinsip dan standar HAM dalam penyelenggaraan tugas Polri," sambung Ramadhan.