Bagikan:

JAKARTA - Para pemimpin Uni Eropa berkumpul pada Hari Kamis untuk menyepakati tanggapan bersama terhadap perang di Ukraina, dengan pandangan yang berbeda tentang seberapa jauh sanksi ekonomi akan dijatuhkan, seberapa cepat untuk memotong impor energi Rusia, dan apakah akan membiarkan Kyiv bergabung dengan blok mereka dengan cepat atau tidak.

Rusia telah mengobarkan perang terhadap tetangganya yang lebih kecil sejak 24 Februari, ketika menyerang dari darat, laut dan udara untuk menyingkirkan pemerintah pro-Barat Ukraina, dalam upaya untuk membatalkan tawaran bekas Republik Soviet untuk bergabung dengan Uni Eropa dan NATO.

Pertempuran itu telah menyebabkan lebih dari 2 juta pengungsi yang melarikan diri ke negara-negara Uni Eropa, yang telah menjatuhkan sanksi yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap Rusia, menawarkan dukungan politik dan kemanusiaan ke Ukraina, serta beberapa pasokan senjata.

"Kami menginginkan Ukraina yang bebas dan demokratis dengan siapa kami berbagi takdir yang sama," kata Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen dalam menunjukkan simpati dan dukungan moral, melansir Reuters 11 Maret.

Tetapi, para pemimpin lain menjelaskan Ukraina tidak akan diizinkan untuk bergabung dengan mereka secepatnya, sesuatu yang telah diupayakan oleh Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskiy dan yang mendapat dukungan dari tetangga Ukraina di sisi timur Uni Eropa.

"Tidak ada prosedur jalur cepat," ujar Perdana Menteri Belanda Mark Rutte, penentang utama perluasan Uni Eropa.

Sementara itu, Kanselir Jerman Olaf Scholz mengatakan Uni Eropa harus memperdalam kemitraannya dengan Ukraina daripada berbicara tentang keanggotaan, yang akan membutuhkan kebulatan suara dari 27 negara anggota.

Kanselir Scholz tidak mengomentari apakah blok tersebut harus melarang impor minyak Rusia, yang juga akan membutuhkan persetujuan semua anggota dan sejauh ini telah dikesampingkan oleh Berlin.

Diketahui, Rusia memasok sekitar sepertiga dari kebutuhan gas dan minyak mentah Jerman. Namun, sanksi yang lebih keras didukung oleh Perdana Menteri Latvia Krisjanis Karins.

"Kita harus menghentikan ini. Ukraina sedang berjuang melawan kita, mereka sedang berperang melawan militer. Kita harus memasok mereka dengan segala cara yang mungkin," tegasnya di hadapan wartawan.

"Dengan sanksi, kita harus melangkah lebih cepat dan lebih jauh," tandasnya.

Bertemu di Istana Versailles yang mewah di luar Paris, para pemimpin Uni Eropa sedang menapaki garis tipis antara keinginan mereka untuk mendukung Ukraina, dengan untuk menghindari risiko tersedot ke dalam perang dengan Rusia yang bersenjata nuklir.

"Bisakah kita membuka prosedur keanggotaan dengan negara yang sedang berperang? Saya rasa tidak. Bisakah kita menutup pintu dan berkata: 'tidak'? Itu tidak adil. Mari kita berhati-hati," tukas Presiden Prancis Emmanuel Macron.

Tepat sebelum KTT, Presiden Macron dan Kanselir Scholz menuntut gencatan senjata segera di Ukraina selama panggilan telepon bersama dengan Presiden Rusia Vladimir Putin.

Invasi Rusia, yang disebut Moskow sebagai operasi militer khusus, telah menghancurkan tatanan keamanan Eropa yang muncul dari abu Perang Dunia Kedua dan runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1991.

Sementara itu, Perdana Menteri Belgia Alexander de Croo menggambarkan momen itu sebagai peristiwa 11 September milik Uni Eropa, merujuk pada serangan Al-Qaeda tahun 2001 di Amerika Serikat, yang memicu perang melawan teror internasional selama bertahun-tahun.

Melihat ke dalam untuk mempersiapkan apa yang mereka khawatirkan bisa menjadi tahun-tahun perselisihan yang memburuk dengan Rusia, para pemimpin juga berusaha untuk menyepakati seberapa cepat mereka dapat mengurangi impor energi Rusia, bagaimana mereka dapat meningkatkan kemampuan pertahanan mereka dan bagaimana mereka dapat membendung inflasi harga pangan.

"Perang di Ukraina adalah trauma yang sangat besar. Tapi itu juga sesuatu yang pasti akan membawa kita untuk sepenuhnya mendefinisikan kembali struktur Eropa," tandas Presiden Macron.