Bagikan:

JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah memeriksa Lo Jecky yang berprofesi sebagai arsitek terkait kasus dugaan suap dan gratifikasi di lingkungan Mahkamah Agung pada tahun 2011-2016 yang menjerat eks Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi.

Plt Juru Bicara KPK bidang penindakan Ali Fikri mengatakan dalam pemeriksaan tersebut, penyidik KPK mendalami adanya aliran uang yang diduga digunakan Nurhadi untuk mendesain rumah di kawasan Hang Lekir dan Patal Senayan.

"Diduga dana yang dibayarkan oleh tersangka NHD untuk mendesain dua rumah tersebut berasal dari suap dan gratifikasi yang diterimanya," kata Ali dalam keterangan tertulisnya, Selasa malam, 15 September.

Selain memeriksa arsitek, penyidik KPK juga terus mengusut aliran dana yang diterima oleh Nurhadi selama dirinya menjabat. Pengusutan ini dilakukan dengan memeriksa sejumlah saksi lain, termasuk Rezky Herbiyono yang merupakan menantu Nurhadi dan telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus yang sama. 

"Tersangka RHE juga dilakukan pemeriksaan lanjutan sebagai tersangka,Penyidik mengkonfirmasi terkait dugaan banyaknya aliran uang yang diterima maupun diberikan oleh Tsk RHE dari dan ke berbagai pihak," ungkap Ali.

Kemudian, lembaga antirasuah ini juga memeriksa saksi bernama Wilson Margatan. Meski tak menyebut profesi Wilson, namun, pemeriksaan ini dilakukan sebagai upaya KPK untuk mengusut dugaan aliran uang dari Nurhadi ke berbagai pihak. 

Diketahui, Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango menyebut penentuan status Nurhadi dalam dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) akan dilakukan dalam waktu yang tidak lama lagi karena ekspose atau gelar perkara sudah dilakukan.

"Sudah pernah ada ekspose. Tinggal nunggu saja mungkin dalam waktu dekat," kata Nawawi di Jakarta, Senin, 14 September.

Sebelumnya, Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Lokataru mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) segera mengembangkan dugaan tindak pencucian uang yang dilakukan oleh eks Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi yang kini ditahan KPK akibat dugaan gratifikasi.

Desakan ini muncul karena dari data yang mereka himpun, Nurhadi memiliki kekayaan yang tidak wajar atau tak sesuai jika dilihat dari penghasilan resmi seorang Sekretaris Mahkamah Agung.

Dalam data tersebut, setidaknya ditemukan beberapa aset yang diduga milik Nurhadi seperti tujuh aset tanah dan bangunan dengan nilai ratusan miliar rupiah; empat lahan usaha kelapa sawit; delapan badan hukum baik berbentuk PT ataupun UD; 12 mobil mewah; dan 12 jam tangan mewah.

Padahal, berdasarkan Surat Keputusan Mahkamah Agung Nomor 128/KMA/SK/VIII/2014 tentang Tunjangan Khusus Kinerja Pegawai Negeri di Lingkungan Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang Berada di Bawahnya disebutkan jabatan Sekretaris Mahkamah Agung sebagai eselon 1 mendapat tunjangan khusus sebesar Rp32.865.000. Sementara gaji pokok pejabat eselon 1 sekitar Rp19 juta.

Dengan adanya fakta tersebut, Kurnia menegaskan KPK harusnya tidak hanya berhenti pada dugaan tindak pidana suap dan gratifikasi saja. Harusnya, sambung dia, lembaga antirasuah memulai penyelidikan untuk masuk dalam kemungkinan menjerat Nurhadi dengan tindak pencucian uang.

"Tidak hanya itu, KPK diharapkan juga dapat menyelidiki potensi pihak terdekat Nurhadi yang menerima manfaat atas kejahatan yang dilakukannya," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana beberapa waktu lalu.