JAKARTA - Bahrain mengikuti langkah Uni Emirat Arab (UEA) untuk menormalisasi hubungan dengan Israel. Langkah itu dianggap sebagai bentuk kedua negara yang memiliki sikap yang sama dalam mengkhawatirkan sikap Iran. Di sisi lain, membuat Palestina semakin terisolasi.
Dilansir dari Reuters, Sabtu 12 September, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengunggah pengumuman tersebut lewat akun Twitter-nya. Menurut Gedung Putih, Trump telah berbicara melalui telepon dengan Raja Bahrain Hamad bin Isa Al Khalifa dan Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu.
"Ini benar-benar hari bersejarah," kata Trump.
"Membuka dialog langsung dan hubungan antara dua masyarakat dinamis dan ekonomi maju ini akan melanjutkan transformasi positif Timur Tengah dan meningkatkan stabilitas, keamanan, dan kemakmuran di kawasan," mengutip peryataan bersama AS, Bahrain dan Israel.
Sebulan yang lalu, UEA setuju untuk menormalisasi hubungan dengan Israel di bawah kesepakatan yang ditengahi AS. Penandatanganan perjanjian Israel-UEA dijadwalkan akan dilakukan di Gedung Putih pada Selasa 15 September.
Upacara tersebut akan dihadiri oleh Netanyahu dan Menteri Luar Negeri UEA Sheikh Abdullah bin Zayed al-Nahyan. Pernyataan bersama mengatakan Menteri Luar Negeri Bahrain Abdullatif Al Zayani akan bergabung dalam upacara itu dan menandatangani "Deklarasi Perdamaian bersejarah" dengan Netanyahu. Netanyahu mengatakan keputusan Bahrain menandai era baru perdamaian.
“Selama bertahun-tahun yang panjang, kami berinvestasi dalam perdamaian, dan sekarang perdamaian akan berinvestasi pada kami, akan menghasilkan investasi yang benar-benar besar dalam ekonomi Israel,” kata Netanyahu dalam sebuah pernyataan video.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri UEA, Hend al-Otaiba, mengucapkan selamat kepada Bahrain dan Israel. Ia mengatakan bahwa perjanjian itu merupakan pencapaian penting dan bersejarah yang akan memberikan kontribusi besar bagi stabilitas dan kemakmuran.
Bahrain, sebuah negara kepulauan kecil, adalah rumah bagi markas regional Angkatan Laut AS. Arab Saudi pada 2011 mengirim pasukan ke Bahrain untuk membantu memadamkan pemberontakan. Sementara pada 2018, Kuwait dan UEA menawarkan dana talangan ekonomi sebesar 10 miliar dolar AS kepada Bahrain. Bahrain menjadi negara Arab keempat yang mencapai kesepakatan damai dengan Israel. Beberapa waktu silam Mesir dan Yordania menjalin hubungan baik dengan Israel dengan bertukar kedutaan.
Semakin Terkhianatinya Palestina
Warga Palestina kecewa, khawatir langkah Bahrain dan sesama negara Teluk Arab-nya, UEA, akan melemahkan posisi pan-Arab lama yang menyerukan penarikan Israel dari wilayah yang diduduki dan penerimaan kenegaraan Palestina sebagai imbalan untuk hubungan normal dengan negara-negara Arab.
Sebuah pernyataan dikeluarkan atas nama kepemimpinan Palestina mengutuk perjanjian itu sebagai pengkhianatan. Perjanjian tersebut juga dianggap tidak menghormati perjuangan Palestina untuk berdiri sendiri sejak puluhan tahun.
"Pimpinan Palestina menolak langkah yang diambil oleh Kerajaan Bahrain dan menyerukannya untuk segera mundur dari itu karena kerusakan besar yang ditimbulkannya pada hak-hak nasional yang tidak dapat dicabut dari rakyat Palestina dan tindakan bersama Arab," kata pernyataan itu.
Kementerian Luar Negeri Palestina mengatakan duta besar Palestina untuk Bahrain dipanggil kembali. Di Gaza, juru bicara Hamas Hazem Qassem mengatakan keputusan Bahrain untuk menormalisasi hubungan dengan Israel merupakan kerugian besar bagi perjuangan Palestina dan mendukung pendudukan Israel.
Hossein Amir-Abdollahian, penasihat khusus urusan internasional untuk ketua parlemen Iran, menyebut keputusan Bahrain sebagai pengkhianatan besar bagi perjuangan Islam dan Palestina.
Pembentukan hubungan dengan Israel terjadi dengan latar belakang ketakutan bersama tentang ancaman yang mungkin ditimbulkan Iran ke wilayah tersebut. Perjanjian ini juga meninggalkan pertanyaan terbesar; apakah Arab Saudi, salah satu negara paling berpengaruh di Timur Tengah dan sekutu dekat AS, akan mengikuti langkah UEA dan Bahrain.