Bagikan:

JAKARTA - KPU tidak bisa membuat aturan tahapan Pilkada 2020 yang secara tegas mencegah potensi penularan COVID-19. Sebab, KPU secara resmi masih menggunakan landasan hukum Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 yang mengatur soal pelaksanaan pilkada. 

Meski ada penambahan regulasi, yakni Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020, aturan tersebut hanya menambahkan ketentuan penyelenggaraan pilkada disertai penerapan protokol kesehatan untuk mencegah peyebaran COVID-19.

"Kami sebetulnya berharap bisa melakukan banyak perubahan secara lebih progresif. Tapi satu hal yang jadi kendala, karena UU Pilkada itu UU 10 Tahun 2016 sebagai hukum positif, dia tetap berlaku," kata Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi, Rabu, 9 September.

Dewa mengaku KPU mendapat banyak masukan dari lembaga masyarakat sipil untuk memodifikasi teknis tahapan Pilkada. Misalnya, seperti opsi pendaftaran bakal pasangan calon (bapaslon) kepala daerah dibuat dengan sistem daring (online).

"KPU agak kesulitan untuk melakukan pendaftaran secara online. Sebab, ada ketentuan bahwa bapaslon wajib hadir. Jika tidak hadir, dia menyampaikan keterangan seperti surat dokter yang menyatakan sakit," tutur dia.

Kemudian, KPU juga dapat masukan peniadaan kampanye tatap muka dan pertemuan terbatas yang sifatnya fisik menghadirkan paslon dan para pendukung. Namun, Dewa mengakui hal itu tak bisa diwujudkan.

Sebab, kata dia, UU Nomor 10 Tahun 2016 masih memberi hak bagi peserta pilkada untuk melakukan kampanye secara fisik. KPU hanya bisa menyarankan paslon utamakan opsi pelaksanaan kampanye daring.

"Pola semacam ini juga terjadi pada pengaturan kampanye. Kenapa masih ada tatap muka langsung meskipun dibatasi, itu karena memang ketentuan kampanyenya demikian," ungkap Dewa.

"Sekali lagi, kita tidak bisa mempersoalkan undang-undang. Itu tetap harus kita laksanakan, karena pilkada diselenggarakan berdasarkan UU. Kalau itu dilanggar, maka jatuhnya kami yang melanggar, bukan pasangan calon," lanjut dia.