GARUT - Bukan hanya mengubah posisi kepala Garuda Pancasila dari menghadap ke kanan menjadi ke depan, Paguyuban Tunggal Rahayu di Garut, Jawa Barat, juga mencetak uang sendiri. Uang ini diduga akan digunakan untuk transaksi para anggota paguyuban.
“Uang ini yang justru kami dapatkan belakangan, dengan pecahan 20 ribu, 10 ribu, seribu dan lima ribu dengan memakai foto ketua paguyuban. Kalau lihat dari desain ini gambar Sukarno, tapi mukanya diedit, informasinya sudah dijadikan alat transaksi oleh anggotanya. Yang sangat kaget dia memakai Bank Indonesia, tapi gambarnya yang bersangkutan, ujar Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Bakesbangpol) Kabupaten Garut, Wahyudijaya, Selasa, 8 September.
Bakesbangpol juga menemukan fakta soal penggunaan gelar profesor, doktor dan gelar akademis yang disematkan pada nama pimpinan Paguyuban Tunggal Rahayu.
"Ada hal lain yang menjadi perhatian kami, yaitu penggunaan gelarnya. Hal ini sudah pelecehan terhadap dunia akademisi," sambungnya.
BACA JUGA:
Saat ini Pemkab Garut bersama instansi lainnya yakni TNI dan Polri sudah menggelar rapat koordinasi untuk menyelesaikan kasus dugaan pelecehan terhadap lambang negara burung Garuda.
"Kami tadi sudah rapat dan sepakat bahwa hukum jadi prioritas penanganan kasus ini, nanti akan diketahui apakah ada persoalan pidananya atau tidak," kata Wahyudijaya.
Dia menegaskan Paguyuban Rahayu Tunggal belum terdaftar di Bakesbangpol Garut. Paguyuban ini juga tidak memiliki akta notaris.
Ada Aturannya
Seperti diketahui, Simbol negara diatur dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan. Dalam beleid yang disahkan pada 9 Juli 2009 ini juga disebutkan simbol-simbol negara sesuai yang telah diatur dalam UUD 1945 meliputi:
Pasal 1 ayat 1 Bendera Negara NKRI adalah Sang Merah Putih.
Pasal 1 ayat 2 Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi nasional yang digunakan di seluruh wilayah NKRI.
Pasal 1 ayat 3 Lambang Negara NKRI adalah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Pasal 1 ayat 4 Lagu Kebangsaan NKRI adalah Indonesia Raya.
Konsekuensi hukum menyangkut kasus penodaan simbol atau lambang negara memang menuntut kehati-hatian. Pasalnya hal ini juga bersinggungan dengan hak setiap orang untuk berpendapat.
Pakar Hukum Pidana Universitas Indonesia, Gandjar Laksmana, seperti dikutip Hukum Online berpendapat, yang terpenting dalam penanganan kasus penghinaan terhadap lambang negara mesti membuktikan (niat jahat) dari si pelaku. Niat jahat ini diwujudkan dengan maksud atau kesengajaan dari pelaku saat melakukan tindakan yang diduga menghina lambang negara.
“Penyidik harus mampu membuktikan adanya kehendak jahat. Kehendak jahat ini ditunjukan saat seseorang melakukan tindakan penghinaan terhadap lambang negara,” kata Ganjar.
Dia mengingatkan penyidik Polisi dalam menangani perkara dugaan penghinaan terhadap lambang negara perlu mengedepankan prinsip utama hukum pidana ini yakni unsur niat jahat. Sebab, meski suatu perbuatan memenuhi unsur pidana, tetapi belum tentu perbuatan tersebut layak untuk dipidanakan.
“Dalam hukum pidana tidak semua perbuatan yang memenuhi unsur pidana harus diberikan sanksi. Pertimbangan utamanya, apakah perbuatan dilakukan dengan melawan hukum dan apakah orangnya dapat dipersalahkan?” kata dia.