Jangan Salah! Selama Pandemi COVID 2020, 10 Persen Pria Menjadi Korban KDRT
Tangkapan layar - Komisioner Komnas Perempuan Maria Ulfah Anshor (Via ANTARA)

Bagikan:

JAKARTA - Komisioner Komnas Perempuan Maria Ulfah Anshor menegaskan bila kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) tidak terjadi hanya pada wanita melainkan pada pria. Meskipun, jumlahnya tidak terlalu banyak. 

"Tentu saja kalau laki-laki yang pernah mengalaminya pasti ada. Di dalam laporan kami pun juga ada,” kata Maria saat dihubungi Antara di Jakarta, Jumat, 4 Februari.

Berdasarkan data Komnas Perempuan, pada 2020 lalu tentang dinamika rumah tangga di masa pandemi, jumlah perempuan yang mengalami kekerasan sebesar 90 berbanding 10.

Artinya, dari 90 persen korban dalam kekerasan rumah tangga merupakan perempuan dan 10 persennya merupakan laki-laki.

"Korban tidak hanya suami tetapi juga kakek, paman ataupun anak laki-laki dalam keluarga," terangnya.

Sedangkan berdasarkan jumlah pengaduan yang diterima Komnas Perempuan terkait kekerasan perempuan, sekitar 5.000 kasus selalu dilaporkan setiap tahunnya. Dengan rincian 30 persen berupa kekerasan fisik, 30 persen kekerasan seksual dan sisanya bersifat psikis.

Maria menjelaskan terdapat dua akar masalah yang selalu menyebabkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga yaitu adanya relasi kuasa yang timpang antara pelaku dan korban juga adanya budaya patriarki.

Pada ketimpangan relasi, biasanya pelaku akan merasa lebih berkuasa karena memiliki suatu kelebihan tertentu. Pada bidang sosial atau ekonomi misalnya, sehingga korban dianggap memiliki ketergantungan baik secara materi maupun hal lainnya.

“Apalagi kalau soal pendidikannya misalnya lebih rendah, dari sisi ekonomi misalnya si suami lebih kaya dari si perempuan. Biasa saja itu jadi faktor yang jadi pemicu terjadinya kekerasan khususnya terhadap perempuan,” kata Maria.

Sedangkan pada budaya patriarki yang dianggap masih mengakar kuat dalam masyarakat, menganggap bahwa bila perempuan tidak menurut untuk melakukan sesuatu, maka bentuk pemukulan dan teriakan yang dilakukan suami pada istri bukanlah suatu masalah yang harus dibenahi.

Maria mengatakan seharusnya kekerasan tak terjadi, sebab perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang harmonis, menciptakan ketentraman secara lahir dan batin.

Ia berharap kekerasan dalam rumah tangga dapat dihilangkan, melalui adanya perubahan cara pandang dalam mengatasi permasalahan tersebut, sehingga dapat terkonstruksi sebuah kehidupan yang saling menghargai baik antar sesama manusia bahkan alam sekalipun.

“Kondisi ini harus dilakukan perubahan cara pandang bahwa dalam rumah tangga itu harus setara. Suami istri itu ya realistisnya setara, suami punya hubungan yang baik, istrinya juga harus melakukan hubungan yang baik,” tegas Maria.