UU IKN Digugat ke MK, Pemerintah Tetap Tancap Gas
Paripurna DPR/Foto: Antara

Bagikan:

JAKARTA - Pemerintah tetap melanjutkan pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) ke Kalimantan Timur meski undang-undangnya --yang baru diketuk palu-- langsung digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka yang menggugat mulai dari aktivis hingga purnawirawan Tentara Nasional Indonesia (TNI).

UU IKN disahkan dalam rapat paripurna DPR-RI ke-13 masa sidang 2021-2022, Selasa, 18 Januari lalu. Pengesahan dilakukan setelah pembahasannya dikebut satu hari satu malam.

Staf Khusus Menteri Sekretaris Negara, Faldo Maldini menegaskan, pemerintah tetap akan melanjutkan agenda terkait IKN sepanjang belum ada aturan hukum baru yang diputuskan oleh mahkamah.

"Pemerintah tancap gas," ujar Faldo di Jakarta, Jumat, 4 Februari.

Meski begitu, dia menghargai pihak-pihak yang melakukan gugatan tersebut. "Tentu, kami menghargai segala aspirasi. Jika ada yang dirasa mencederai hak konstitusional, silakan digugat. Jalurnya sudah ada. Namun, UU yang sudah diketok, harus disusun turunannya, show must go on," ucapnya.

Faldo menilai, gugatan UU IKN harus direspon dengan argumentasi yang baik dalam persidangan. Namun, dia yakin pemindahan IKN tetap berjalan mulus kendati UU IKN digugat.

"Kami yakin semuanya akan berjalan baik. UU ini disusun sudah sesuai dengan kaidah-kaidah yang berlaku. Secara substansi pun solid. Yang kita akan bangun bukan hanya kota, namun juga jembatan kebangsaan dan harapan masa depan," tutup Faldo.

Sebelumnya, UU IKN digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh sejumlah warga yang menamakan diri sebagai Poros Nasional Kedaulatan Negara (PNKN).

PNKN digawangi mantan penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abdullah Hehamahua, bekas anggota DPD DKI Jakarta Marwan Batubara, politikus Agung Mozin, Ketua Dewan Pertimbangan MUI Muhyiddin Junaidi, dan tujuh orang lagi.

Dilansir dari dokumen yang diunggah laman resmi MK, gugatan itu didaftarkan pada 2 Februari 2022. Para pemohon mengajukan gugatan uji formil atas UU IKN lantaran pembentukan UU tersebut dinilai tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pembentukan UU IKN dianggap tidak melalui perencanaan yang berkesinambungan, mulai dari dokumen perencanaan pembangunan, perencanaan regulasi, perencanaan keuangan negara, dan pelaksanaan pembangunan.

Para pemohon juga menilai, pembentukan UU IKN tidak benar-benar memperhatikan materi muatan, karena banyak mendelegasikan materi substansial ibu kota negara ke peraturan pelaksana.

"Dari 44 pasal di UU IKN, terdapat 13 perintah pendelegasian kewenangan pengaturan dalam peraturan pelaksana," tulis pemohon.

Menurut para pemohon, UU IKN tidak dibuat karena benar-benar dibutuhkan. Pemohon mengutip hasil jajak pendapat salah satu lembaga survei yang menyatakan bahwa mayoritas masyarakat menolak pemindahan ibu kota negara.

Sejalan dengan itu, tidak ada keterbukaan informasi pada tiap tahapan pembahasan UU IKN. Berdasar penelusuran pemohon, dari 28 tahapan/agenda pembahasan RUU IKN di DPR, hanya tujuh yang dokumen dan informasinya bisa diakses publik.

"Representasi masyarakat yang terlibat dalam pembahasan RUU IKN sangat parsial dan tidak holistik. Padahal IKN merupakan perwujudan bersama kota negara RI yang seharusnya dapat lebih memperluas partisipasi dan pihak-pihak dari berbagai daerah, golongan, dan unsur kepentingan masyarakat lainnya dalam pembahasannya," ujar para pemohon.

Mengacu pada hal-hal tersebut, pemohon menilai bahwa pembentukan UU IKN tidak memenuhi ketentuan pembentukan UU berdasarkan UUD 1945 dan UU Nomor 12 Tahun 2011.

Oleh karenanya, MK diminta menyatakan UU IKN bertentangan dengan UUD 1945.