Bagikan:

JAKARTA - Proyek pembangunan Ibukota Negara (IKN) di Kalimantan Timur harus dikawal semua pihak lantaran sumber dananya dianggap tidak jelas. Kementerian Keuangan mengungkapkan dana pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) dari APBN hanya dikucurkan untuk penyediaan infrastruktur dasar dan kawasan inti pusat pemerintahan IKN.

Sebagai informasi, pembangunan IKN akan dilaksanakan dalam lima tahap periode hingga 2045. Pemerintah menyebut pembangunan pada tahap pertama krusial karena berfokus pada infrastruktur dasar atau penyangga kawasan IKN baru.

Untuk itu, pendanaan pembangunan IKN tidak hanya akan bersumber dari APBN, melainkan juga dari sumber non-APBN. Sumber non-APBN tersebut meliputi Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU), investasi swasta, dan BUMN.

Namun, sumber pendanaan non APBN itu lah yang belum diketahui asal muasalnya. Lantas bagaimana mendapatkan dana Rp466 triliun untuk membangun IKN?

"Ini mesti dikawal. Proses penganggaran yang ‘grasa-grusu’ berbahaya," ujar Anggota Komisi II DPR RI Fraksi PKS, Mardani Ali Sera, Kamis, 3 Februari. 

Menurut Ketua DPP PKS ini, jika proses pengganggaran UU IKN tidak diawasi oleh publik, maka pada gilirannya efisiensi dan efektivitas IKN itu rawan dikorbankan. Selain itu, kata dia, kualitas proses pembangunan IKN seperti yang dijanjikan pemerintah bisa terancam.

"Masyarakat perlu sama-sama mengawal proses ini," katanya.

Mardani pun meminta pemerintah mengedepankan transparansi dalam hal pendanaan IKN di Kaltim ini. Pasalnya, pembangunan IKN diperkirakan butuh pendanaan hingga hampir setengah kuadriliun.

"Mesti transparan dan ikut prosedur. Tidak boleh melanggar aturan," pungkasnya. 

Sementara, Direktur Eksekutif Indonesia Poltical Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah menyebutkan, ketidakjelasan anggaran Pembangunan IKN menandai IKN sebagai proyek yang dipaksa jalan dengan cara apapun. 

Dikatakan Dedi, negara seolah tidak patuh pada program prioritas yang seharusnya lebih siap.

Dia menjelaskan, secara politik, IKN diperlukan sebagai bentuk upaya penyebaran pembangunan. Tujuannya, agar tidak terlalu padat di Jakarta.

Meski begitu, menurutnya, memindahkan fungsi Jakarta secara total ke IKN semestinya perlu analisa lebih lanjut.

"Terlebih jika situasinya dipaksakan, publik akan menilai IKN sebagai program politik yang diperuntukan membangun prestisius rezim, bukan dibangun mendasar pada kemaslahatan bangsa," kata Dedi, Kamis, 3 Februari.

Dedi pun mengingatkan, apabila ternyata belum memiliki sumber dana yang pasti untuk membangun IKN, lebih baik pemerintah mengambil keputusan untuk membatalkan UU IKN dan merencanakannya dengan lebih adil.

"Jika memang pemerintah tidak punya sumber daya yang pasti, maka belum terlambat untuk membatalkan UU IKN," pungkas Dedi.

Sebelumnya, pada konferensi pers Senin, 24 Januari, Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto memberikan pernyataan bahwa pemerintah tidak berencana memasukkan proyek pembangunan IKN baru ke dalam Program PEN.

Dia menjelaskan, dana pembangunan proyek IKN akan menggunakan alokasi anggaran Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).

“Terkait IKN, anggarannya ada di PUPR dan memang diperkirakan fase pertama dibutuhkan dana Rp45 triliun, namun secara bertahap, tergantung kebutuhan dan progres,” katanya dalam konferensi pers, Senin, 24 Januari.

Dia mengatakan, alokasi anggaran untuk Program PEN pada 2022 adalah sebesar Rp451,64 triliun, diperuntukkan tiga klaster.

Anggaran untuk kesehatan dialokasikan sebesar Rp125,97 triliun dan perlindungan sosial sebesar Rp150,8 triliun.

Di samping itu, pemerintah mengalokasikan anggaran PEN untuk penguatan ekonomi sebesar Rp174,87 triliun, terkait infrastruktur, ketahanan pangan, teknologi informasi dan komunikasi, UMKM, PMN, dan insentif perpajakan.

“Jadi tadi saya sampaikan dana itu yang ada di PUPR dan Program PEN sekarang tidak ada tema untuk IKN,” jelasnya.