Sederet Bantahan Ketika Edy Mulyadi Mencoba Berlindung di UU Pers
Kuasa Hukum Edy Mulyadi, Herman Kadir/Foto: VOI

Bagikan:

JAKARTA - Terlapor kasus dugaan ujaran kebencian soal Kalimantan tempat jin buang anak, Edy Mulyadi seolah berlindung di balik Undang-Undang Pers. Sebab, Edy mengklaim pernyataannya yang kontroversi itu terlontar ketika bertugas sebagai wartawan senior.

Pernyataan itu disampaikan oleh pengacaranya, Herman Kadir. Bahkan, Bareskrim diminta untuk memberlakukan UU Pers. 

“Ingat ya, Pak Edy ini seorang wartawan senior. Artinya pemanggilan itu dia bicara itu sebagai wartawan senior, bukan atas nama apa gitu loh. Artinya, kita juga ingin UU Pers diberlakukanlah,” kata tim pengacara Edy Mulyadi Herman Kadir di Bareskrim Mabes Polri, Jumat, 28 Januari. 

Herman Kadir lantas menjelaskan soal aturan pemanggilan wartawan yang menurutnya harus melalui Dewan Pers. Sebab Edy Mulyadi disebut pengacara saat itu berbicara soal Kalimantan sebagai lokasi ibu kota negara baru dalam kapasitas sebagai insan pers. 

“Kode etik pers ada di situ, kalau memang dia melanggar ya silakan. Artinya prosedur hukum itu, sudah ada kerja sama polri dengan PWI. Artinya sudah jelas di sutu, kalau memang apa, diselesaikan dulu lewat Dewan Pers,” sambungnya. 

Permintaan itupun justru menimbulkan penolakan dari beberapa pihak. Sebab, konteks pernyataan Edy Mulyadi dianggap bukan merupakan karya jurnalistik.

Dewan Pers Meragukan

Wakil Ketua Dewan Pers Hendry Ch Bangun meragukan pernyataan Edy Mulyadi di media sosial merupakan produk jurnalistik. Sehingga, perlu dianalisa lebih jauh lagi.

“Karena dia bicara sendiri, membuat pernyataan sendiri. Nah, karya jurnalistiknya dimana? Ini patut diteliti tapi saya sendiri meragukan kalau dari sisi itu, hal ini adalah sebuah karya jurnalistik tapi tentu nanti pendapat ahli pers yang akan menilainya,” kata Hendry.

Hendry pun membandingkan dengan kasus Podcast Deddy Corbuzier yang mewawancarai mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah. Hendry menjelaskan bahwa video yang sempat viral dan diduga ilegal tersebut bisa dikatakan sebuah karya jurnalistik karena posisi Deddy sebagai pewawancara.

“Karena posisi Deddy sebagai pewawancara jadi tampilan podcast tersebut adalah karya jurnalistik,” ujarnya.

Terkait kasus Edy Mulyadi yang diminta diproses sebagai jurnalis oleh dewan pers, hingga saat ini Hendry mengaku belum menerima laporan apa pun dari yang bersangkutan maupun kuasa hukumnya.

IPW Membantah

Sementara Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso menilai pernyataan Edy Mulyadi yang menyebut Kalimantan tempat jin buang anak bukan produk jurnalisitik. Kasus dugaan ujaran kebencian yang melibatkan Edy Mulyadi bisa diproses secara pidana umum.

"Edy mulyadi ketika berbicara tempat 'jin buang anak' dan 'harimau jadi meong' adalah pernyataan pribadi bukan sebagai produk jurnalistik. Sehingga tidak dilindungi oleh UU Pers walau Edy Mulyadi mengaku sebagai wartawan," ujar Sugeng.

Menurut Sugeng, perlindungan pers atau wartawan yang diatur dalam Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 berlaku terhadap produk jurnalistik yang telah melewati proses redaksional. Tentunya ada penyaringan informasi sesuai kaidah jurnalistik.

"Perbuatannya dapat dimintakan pertanggung jawaban pidana umum pasal 310 atau 311 KUHP atau khsusus pasal 27 (3) dan pasal 28 (2) UU ITE," kata Sugeng.

Karena itu, Sugeng mendorong Polri untuk terus mengusut kasus dugaan ujaran kebencian secara tuntas. Sehingga, kasus ini dapat memberikan kepastian hukum kepada semua pihak.

"IPW mendukung polri proses aduan masyarakat ini dan diajukan kepengadilan untuk adanya kepastian hukum untuk semua pihak," kata Sugeng.