Minim Bukti, Penyelidikan Paket Sabu di Lapas Perempuan Yogyakarta Dihentikan
Polres Gunung Kidul melakukan pers rilis perkembangan kasus di wilayah ini. (ANTARA/Sutarmi)

Bagikan:

YOGYAKARTA - Kepolisian Resor Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, menghentikan kasus penyelidikan kiriman paket sabu untuk narapidana di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Perempuan Kelas II B Yogyakarta karena barang bukti sangat minim.

"Kami sudah berupaya melakukan penyelidikan dengan maksimal, namun kasusnya tidak bisa dinaikkan ke tingkat penyidikan karena barang bukti yang minim," kata Kasat Narkoba Polres Gunung Kidul AKP Dwi Astuti Handayani di Gunung Kidul, dilansir Antara, Jumat, 28 Januari.

Ia mengatakan di Lapas Perempuan Kelas II B Yogyakarta di Wonosari tidak ada kamera pengawas dan tidak ada identitas pengirim barang. Selain itu, paket sabu tidak terbukti secara kuat dikirim untuk salah satu warga binaan di Lapas Perempuan Kelas II B Yogyakarta di Wonosari.

"Penyidik kesulitan mengembangkan kasus dan berhenti di penyedia jasa pengiriman paket yang berada di Semarang, Jawa Tengah. Kami sempat terjun langsung ke tempat penyedia jasa tersebut sesuai alamat yang tertera di paket tapi tidak ada petunjuk," katanya.

Meski demikian, Dwi Astuti membenarkan bahwa paket tersebut berisi sabu. Dalam paket tersebut ada empat bungkus masing-masing dengan berat 0,7 gram. Terkait warga binaan yang hasil tes urine positif dan paket dicurigai diarahkan padanya, Dwi mengatakan interogasi sudah dilakukan. Keterangan dari 17 saksi seperti warga binaan lain dan petugas lapas perempuan.

"Kami sudah melakukan penggeledahan di ruang kamar warga binaan tersebut. Namun tidak ditemukan barang bukti, seperti alat yang digunakan untuk mengonsumsi sabu. Selain itu, tidak ada bukti yang menguatkan bahwa telah terjadi pesta sabu di dalam sel," kata Dwi.

Sementara itu, Kepala Lapas Perempuan Kelas II B Yogyakarta Ade Agustina mengatakan bahwa empat warga binaan yang positif narkoba saat dilakukan tes urine berkaitan dengan kiriman paket sabu diarahkan untuk menerima pendampingan medis alias rehabilitasi.

"Prosesnya berkoordinasi dengan Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) dan Lembaga Pemasyarakatan Narkotika (LPN)," kata Ade.

Empat warga binaan ini disebut akan menerima sanksi sesuai aturan. Menurutnya, sanksi diberikan bukan hanya karena hasil tes urine, tapi karena pelanggaran lain yang pernah dilakukan selama menjalani masa hukuman di lapas perempuan.

Adapun proses pemeriksaan internal sudah dilakukan. Selain empat warga binaan ini, Ade mengatakan ada enam warga binaan lain yang turut diarahkan untuk rehabilitasi karena terkait kasus penggunaan narkoba.

"Jadi rencananya ada 10 orang angkatan pertama diarahkan rehabilitasi," katanya.