Bagikan:

JAKARTA - Ahli Epidemiologi dari Universitas Indonesia, Pandu Riono menganggap penentuan zonasi risiko COVID-19 tiap daerah (kabupaten/kota) oleh pemerintah tidak akurat.

"Penetapan zonasi berdasarkan wilayah bisa saja tidak akurat. Sebab, mobilitas penduduk saat ini tidak kita batasi," kata Pandu dalam diskusi virtual di Youtube Katadata, Kamis, 3 September.

Pandu mencontohkan keadaan di Jakarta. lima kota administratif di Jakarta, dalam beberapa waktu lalu masih berstatus zona oranye (risiko penularan sedang) dan kuning (risiko penularan rendah), kini telah menjadi zona merah.

"Dulu, ada yang zona hijau, (Kabupaten Kepulauan Seribu), dalam hitungan hari, berubah karena ada laporan kasus," ungkap Pandu.

Alasan pemetaan zonasi tidak akurat, kata Pandu, disebabkan upata pemeriksaan (testing) dan pelacakan kasus (tracing) yang tidak merata pada semua daerah di Indonesia. Hanya beberapa daerah yang telah menjalani tes dan penelusuran kasus secara masif.

Pandu juga menganggap pengambilan keputusan menggunakan kategorisasi zonasi, seperti aturan pembukaan sekolah, tidaklah tepat karena ketidakakuratan kondisi tersebut.

"Ini menjadi salah kaprah kalau diambil menjadi keputusan bahwa di zona hijau, kuning, sekolah bisa dibuka karena zona hijau tidak merefleksikan yang sesungguhnya," ungkapnya.

"Sehingga, ketika itu dilakukan pengambilan keputusan, terjadilah klaster baru di sekolah atau pabrik karena menganggap sudah aman, jadi mereka tidak waspada," lanjut Pandu.

Oleh sebab itu, Pandu menyarankan agar semua masyarakat, walaupun berada di zona hijau (belum ditemukan kasus atau tidak ada kasus baru) untuk tetap menerapkan protokol 3M, yakni mengenakan masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak.

"bukan berarti saya menakut-nakuti. Tapi ini meningkatkan supaya orang waspada. Waspadalah bahwa ini adalah silent transmission, bisa terjadi di mana saja," imbuhnya.