Durasi Kampanye Pendek Disebut Beresiko Ganggu Ketersediaan Logistik Pemilu
Ilustrasi (Irfan Meidianto/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menyoroti perbedaan pendapat antara KPU dan pemerintah terkait masa kampanye Pemilu 2024. Diketahui, KPU mengusulkan 120 hari sedangkan pemerintah menilai 90 hari sudah cukup.

Anggota Dewan Pembina Perludem, Titi Anggraini, mengatakan masa kampanye yang ideal dapat dilihat dari dua aspek. Pertama, optimalisasi penjangkauan pemilih oleh para calon dengan berorientasi pada pendekatan program dan gagasan.

Kedua, kelayakan teknis dalam penyelenggaraan tahapan dan penuntasan masalah-masalah hukum yang bisa muncul pada tahapan-tahapan pilkada.

"Kedua itu berkaitan dengan durasi yang cukup untuk mengadakan dan mendistribusikan kebutuhan logistik pemungutan dan penghitungan suara," ujar Titi, Rabu, 26 Januari.

Titi melanjutkan, logistik pemilu untuk hari H pelaksanaan terutama surat suara, baru bisa diadakan setelah KPU menetapkan daftar calon tetap (DCT) untuk pemilu legislatif dan presiden.

Sementara UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dalam Pasal 276 ayat (1) menyebutkan bahwa kampanye pemilu dilaksanakan sejak 3 (tiga) hari setelah ditetapkan Daftar Calon Tetap anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD serta Pasangan Calon untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden sampai dengan dimulainya Masa Tenang. Kemudian dalam ayat (2) Pasal yang sama diatur bahwa kampanye pemilu berakhir sampai dengan dimulainya Masa Tenang.

"Jadi masa kampanye ini berkaitan juga dengan durasi waktu yang tersedia untuk menyediakan logistik pemilu hari H Pemilu. Apalagi biasanya setelah penetapan daftar calon tetap, biasanya ada saja sengketa yang muncul mengikutinya. Umumnya, keberatan dari caleg yang batal ditetapkan masuk DCT," jelas Titi.

Oleh karena itu, menurutnya, durasi kampanye yang terlalu pendek akan berisiko mengganggu ketersediaan logistik pemilu. Titi berharap, semua pihak baik pemerintah dan penyelenggaraan pemilu dapat mempertimbangkan secara matang pelaksanaan teknis pemilu.

"Dalam konstruksi UU Pemilu saat ini, durasi kampanye bila terlalu pendek bisa berisiko mengganggu ketersediaan logistik pemilu untuk hari H Pemilu. Oleh karena itu, mengingat UU Pemilu sampai hari ini tidak diubah, maka semua pihak perlu mempertimbangkan dengan serius simulasi dan kalkulasi teknis yang dilakukan oleh KPU. Sebab KPU pasti telah menghitung berdasarkan kerangka waktu yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan setiap tahapan dan program pemilu dengan baik dan berkualitas," ucapnya.

Apabila bisa diperpendek tanpa mengganggu teknis pelaksanaan pemilu, Titi menilai perlu ada perubahan UU Pemilu. Terutama terkait ketentuan yang menyebut kampanye pemilu dilaksanakan sejak 3 hari setelah ditetapkan Daftar Calon Tetap (DCT).

"Kalau mau memperpendek waktu kampanye tanpa mengganggu kalkulasi teknis, maka pembuat UU bisa saja mengaturnya melalui perubahan UU Pemilu. Khususnya mengubah ketentuan yang menyebut kampanye pemilu dilaksanakan sejak 3 hari setelah ditetapkan Daftar Calon Tetap (DCT)," tandasnya.