Bagikan:

JAKARTA - Washington dinilai membuat taruhan yang kalah dengan melanjutkan tekanan sanksinya terhadap Korea Utara, menolak menerima rancangan resolusi yang diusulkan oleh Rusia dan China, tentang pelonggaran pembatasan ini di sejumlah bidang, kata Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov Jumat.

"Sayangnya, Amerika Serikat dan Sekutu Eropa-nya masih belum siap untuk menerima (resolusi) itu, dan mereka pasti membuat taruhan yang kalah dengan berjudi demi kebijakan sanksi dan tekanan pada Pyongyang. Sementara, tidak menawarkan ide konstruktif apa pun sebagai tanggapan," jelas diplomat top Rusia itu, mengutip TASS 22 Januari.

Sebelumnya, Kementerian Luar Negeri Rusia menaruh harapan besar terhadap rancangan resolusi politik dan kemanusiaan yang diusulkan oleh Rusia dan China.

Rancangan tersebut menetapkan pelonggaran sanksi terhadap Korea Utara di sepanjang garis kemanusiaan dan di bidang lain yang tidak terkait dengan program rudal nuklir, yang akan menjadi insentif serius untuk menghidupkan kembali wacana politik oleh semua negara yang terlibat.

"Kami melanjutkan dari sikap bahwa dalam kondisi pandemi saat ini, pemberian bantuan kepada rakyat DPRK akan menjadi langkah yang tepat waktu dan bertanggung jawab atas nama komunitas global," sebut kementerian itu dalam sebuah pernyataan, menggunakan nama resmi Korea Utara sebagai DPRK.

"Selain itu, adopsi resolusi ini akan membantu membangun kepercayaan di antara negara-negara yang terlibat dan dapat menjadi insentif yang kuat untuk menghidupkan kembali dialog politik," lanjut pernyataan itu.

Badan diplomatik tersebut juga menyatakan, pada tahun 2022, Moskow bermaksud untuk terus mempromosikan pendekatan Rusia-China menuju penyelesaian di Semenanjung Korea, yang ditetapkan oleh Peta Jalan Bersama 2017.

"Kami percaya bahwa satu-satunya cara untuk menyelesaikan masalah di Semenanjung Korea adalah melalui dialog politik, yang dapat berfungsi untuk menemukan cara untuk memenuhi keprihatinan yang sah dari semua pihak yang terlibat, bahkan mengenai jaminan keamanan," tambah Kementerian Luar Negeri Rusia.