Bagikan:

JAKARTA - Anggota DPR dari Fraksi PKS Ledia Hanifa turut menanggapi pernyataan anggota Komisi III DPR dari PDIP, Arteria Dahlan, yang meminta salah satu Kepala Kejaksaan Tinggi ditindak tegas dengan diganti karena berbahasa Sunda saat rapat. Arteria pun sontak menjadi perbincangan karena ucapannya kembali menuai polemik.

Dengan berbahasa Sunda, anggota Komisi X DPR RI itu mengatakan sikap Arteria berlebihan.

"Meuni lebay kitu si Oom Arteria Dahlan teh. Serius kalo kata saya mah, eta teh lebay, berlebihan," ujar Ledia kepada wartawan, Kamis, 20 Januari.

Legislator Dapil Kota Bandung dan Kota Cimahi, Jawa Barat itu sangat menyayangkan aksi ucap Arteria yang menurutnya berlebihan. Bahkan cenderung menyakiti masyarakat, utamanya warga suku Sunda.

Anggota komisi pendidikan itu kemudian menjelaskan bahwa kewajiban berbahasa Indonesia memang tercantum di dalam Undang-Undang No 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan yang dijabarkan lebih lanjut dalam Perpres No 63 Tahun 2019 Tentang Penggunaan Bahasa Indonesia.

Ada 14 ranah yang mewajibkan penggunaan Bahasa Indonesia. Diantaranya adalah di ranah Komunikasi Resmi di Lingkungan Kerja Pemerintah dan Swasta serta dalam Laporan Setiap Lembaga atau Perseorangan Kepada Instansi Pemerintahan sebagaimana tercantum dalam pasal 33 dan 34 Undang-Undang No 24 Tahun 2009.

“Namun hal ini tentu tidak berarti penggunaan bahasa daerah yang hanya menjadi semacam penguat, penjelas, selipan, bukan penggunaan secara penuh sepanjang acara menjadi haram mutlak. Ibarat kata jatuhnya jadi 'makruh' saja adanya tambahan-tambahan ungkapan bahasa daerah," jelasnya.

Bahkan, lanjut Ledia, pada Undang-Undang yang sama di pasal 42 jelas-jelas tercantum penghormatan, penghargaan dan perlindungan negara kepada bahasa daerah dengan menyatakan 'Pemerintah daerah wajib mengembangkan, membina, dan melindungi bahasa dan sastra daerah agar tetap memenuhi kedudukan dan fungsinya dalam kehidupan bermasyarakat sesuai dengan perkembangan zaman dan agar tetap menjadi bagian dari kekayaan budaya Indonesia'.

“Jadi bahasa daerah dikembangkan, dilindungi sementara bahasa Indonesia wajib dipakai dalam rapat-rapat resmi, itu bukan sesuatu yang harus dipertentangkan," tegasnya.

"Kita tetap harus menyosialisasikan, membiasakan hingga kewajiban Undang-Undang ini menjadi sesuatu yang secara otomatis berlaku dalam kegiatan-kegiatan resmi sehari-hari," sambung Ledia.

Sekretaris Fraksi PKS DPR itu sendiri pernah mengingatkan Mendikbudristek yang berulang kali menggunakan ungkapan-ungkapan berbahasa Inggris dalam rapat kerja bersama Komisi X DPR RI, akhir Januari 2020 lalu.

“Itu kan rapat resmi, maka saya ingatkan Mas Nadiem untuk berbahasa Indonesia sesuai aturan Undang-Undang. Mungkin karena beliau lama di luar negeri, ungkapan-ungkapan dalam bahasa Inggris jadi berkali-kali tercetus. Nah, konteks saya saat itu adalah mengingatkan beliau, agar terbiasa. Hasilnya, kini Mas Menteri sudah berbahasa Indonesia yang baik dan benar dalam setiap rapat. Kalau ada sesekali tercetus ungkapan atau pilihan diksi bahasa Inggris, tentu wajar dan termaafkan.” katanya.

Bahkan, tambah Ledia, bila secara detil menelisik Undang-Undang No 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan dan Perpres No 63 Tahun 2019 Tentang Penggunaan Bahasa Indonesia. Ternyata soal penggunaan bahasa Indonesia yang menjadi wajib digunakan dalam 14 ranah kehidupan ini nyatanya tidak menempatkan adanya sanksi atas pelanggaran ketentuan tersebut.

Berbeda dengan aturan tentang bendera, lambang negara, dan lagu kebangsaan, yang secara jelas menyebutkan adanya sanksi pidana pada pelanggaran ketentuan-ketentuan yang ada, pelanggaran atas penggunaan bahasa Indonesia agaknya lebih menggunakan pendekatan persuasif edukatif.

“Jadi kalau ada pelanggaran, maka yang pas itu ya diingatkan, dikasih tahu aturannya, secara informatif, persuasif dan edukatif. Kalau sampai minta diberhentikan, ditindak tegas, itu kan malah jadi melebihi ketentuan perundang-undangan. Artinya ya berlebihan. Lebay mun saur budak ngora jaman kiwari mah,” tutup Ledia.

Sebelumnya, Anggota Komisi III DPR RI Fraksi PDIP Arteria Dahlan mengkritik Jaksa Agung Sanitar Burhanuddin lantaran ada Kepala Kejaksaan Tinggi yang menggunakan Bahasa Sunda dalam rapat.

Kritik tersebut disampaikan Arteria kepada Burhanuddin dalam Rapat Kerja Kejagung dengan DPR pada Senin, 17 Januari. Dia bahkan meminta agar Jaksa Agung mencopot Kajati tersebut karena menggunakan Bahasa Sunda dalam rapat.

"Ada kritik sedikit Pak JA (Jaksa Agung), ada Kajati pak dalam rapat dalam raker itu ngomong pakai bahasa Sunda, ganti pak itu. Kami ini Indonesia pak," kata Arteria, Senin, 17 Januari.

Arteria mengaku khawatir, apabila menggunakan bahasa daerah dalam rapat, maka dapat menghambat komunikasi. Untuk itu Arteria meminta Burhanuddin melakukan penindakan.

"Nanti orang takut, kalau pakai bahasa Sunda ini orang takut, ngomong apa, sebagainya. Kami mohon yang seperti ini dilakukan tindakan tegas," ujar Arteria.

Arteria pun menyayangkan sikap Kajati yang menggunakan bahasa Sunda saat rapat itu. Dia menilai, Kajati itu seharusnya menggunakan bahasa Indonesia saat rapat.