JAKARTA - Epidemiolog dari Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman mengatakan, klaster wisata karena libur panjang beberapa waktu lalu terjadi lantaran masyarakat dan tempat wisata yang dikunjungi abai menerapkan protokol kesehatan pencegahan COVID-19.
Selain itu, dia menilai, monitoring terhadap protokol kesehatan belum memadai dan optimal penerapannya. Hal ini tampak dari masih adanya tempat wisata yang tidak memberlakukan registrasi online di tengah pandemi COVID-19.
"Dengan registrasi online ini, misalnya. Pertama kita bisa mengatur jumlah pengunjung sesuai kapasitas dan mulai menerapkan screening tahap pertama bagi pengunjung sesuai kapasitas dari mulai batasan usia yang masuk, dan hal-lainnya untuk mengedukasi masyarakat. Nah, kalau hal ini diabaikan bisa berpotensi menimbulkan klaster," kata Dicky kepada VOI, Senin, 31 Agustus.
Selain itu, klaster wisata karena libur panjang juga mungkin terjadi karena adanya silent spreader atau mereka yang sudah terpapar tapi tak bergejala. Menurut Dicky, silent spreader ini menjadi masalah karena sulit dideteksi.
"Jangankan di Indonesia yang masih belum terkendali atau prevelensinya masih tinggi. Di negara lain yang prevelensinya sudah hampir nol, yang namanyan klaster bisa tiba-tiba muncul. Kenapa? Karena ada silent spreader," ungkapnya.
Menurut dia, silent spreader bukan hanya menjadi musuh di Indonesia. Dia menyebut, di sejumlah tempat seperti Brisbane, Queensland, maupun New Zealand, potensi penyebaran COVID-19 karena silent spreader sangat sulit dideteksi.
"Bahkan sebagai contoh, di New Zealand terjadi klaster baru dan rata-rata muncul di lokasi indoor. Padahal sebelumnya tidak ada kasus sama sekali untuk beberapa minggu atau bulan tapi tiba-tiba terjadi karena silent spreader," jelas Dicky.
"Itulah yang saat ini tentu sangat besar membuat klaster keluarga dan klaster wisata bisa terjadi," imbuhnya.
Dicky menilai, silent spreader yang menimbulkan klaster wisata atau klaster lainnya memang menjadi masalah karena tak terdeteksi. Namun, ada beberapa cara yang bisa dilakukan. Pertama, kata dia, harus ada program dari pemerintah pusat dan daerah yang bersinergi dan fokus untuk mengeliminasi COVID-19 hingga kasusnya menjadi kecil.
Adapun strategi eliminasi itu bisa dilakukan dengan pengujian terhadap masyarakat secara keseluruhan. Dengan makin banyaknya orang yang diuji, maka deteksi dini terhadap mereka yang ternyata bisa menjadi silent spreader bisa segera dilakukan dan dilanjutkan dengan contact tracing dan isolasi mandiri.
"Jika perilaku ini ditingkatkan di pusat dan daerah tentu ini akan menjadi sinergi yang diperlukan untuk menghadapi pandemi," tegasnya.
Kedua, cara lain untuk menghindari silent spreader adalah dengan melakukan monitoring terutama bagi keluarga yang baru pulang berlibur. Monitoring ini, kata Dicky, bisa dilakukan oleh pihak kantor dengan mendeteksi siapa saja karyawannya yang baru berlibur atau dilakukan oleh pihak lingkungan sekitar tempat tinggal dengan memanfaatkan Puskesmas.
"Kalau ada gejala, tiap gejala mirip flu dan gejala lain yang dicurigai segera melapor. Ini agar segera dideteksi secara cepat, dini, dan bisa dilakukan respon dengan segera," ujarnya.
BACA JUGA:
Sebelumnya, Dinas Kesehatan DKI Jakarta menyebut terjadi penambahan kasus positif COVID-19 yang cukup signifikan akibat adanya libur panjang beberapa waktu yang lalu. Pada Minggu, 30 Agustus kemarin, DKI Jakarta mencatat terjadi penambahan kasus positif COVID-19 hingga mencapai 1.114 orang.
"Dari jumlah tersebut, 385 kasus adalah akumulasi data 7 hari sebelumnya yang baru dilaporkan, yang mana sebagian besar terpapar COVID-19 saat libur panjang akhir pekan (long weekend) pada rentang waktu 16-22 Agustus 2020," kata Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta, Dwi Oktavia, dalam keterangannya, Minggu, 30 Agustus.
Berdasarkan data terkini Dinas Kesehatan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, 70 persen kasus positif pada hari ini adalah kasus yang diambil spesimen pada 24 dan 25 Agustus 2020. Ia menjelaskan, jika dihitung mundur, masa inkubasi tersering adalah 6 hari (inkubasi adalah lama waktu dari virus masuk sampai dengan menimbulkan gejala), lalu pasien mengakses pemeriksaan PCR 1-2 hari kemudian, maka periode penularan tertinggi terjadi pada 16-17 Agustus 2020.
"Angka pengambilan spesimen pada 27 Agustus juga cukup tinggi, perlu dipertimbangkan efek long weekend selama dua pekan berturut-turut. Perlu adanya kewaspadaan dan usaha bersama, baik oleh Pemerintah maupun masyarakat, dalam melihat tren kenaikan kasus ini," papar Dwi.