Epidemiolog: Separah-parahnya AS Dihajar COVID-19, Indonesia Tak Mungkin Lebih Aman
Presiden Joko Widodo (Sumber: Sekretariat Kabinet)

Bagikan:

JAKARTA - Frekuensi kasus baru positif COVID-19 yang ada di Indonesia selama masa pandemi atau incidence rate COVID-19 beberapa bulan ke belakang dinilai lebih rendah dari yang dialami Amerika Serikat (AS). Namun, Pakar Epidemiologi dari University of North Carolina, AS, Juhaeri Mukhtar meragukan hal ini. Seburuk-buruknya AS terpapar, Indonesia tak mungkin lebih aman.

Juhaeri mengatakan, penduduk Amerika dengan total 330 juta, yang sudah terpapar itu sekitar 5,8 juta. Incidence rate di AS 178 per 10 ribu. Artinya, setiap 10 ribu penduduk yang diperiksa 178 terpapar virus SAR-COV-2 atau COVID-19.

Sementara, kata Juhaeri, berdasarkan data per 28 Agustus menunjukan terdapat 165.887 total kasus positif dari total 274 juta penduduk di Tanah Air. Artinya, jika dibandingkan dengan Amerika memang Indonesia lebih rendah.

"Jadi kalau dihitung sebetulnya incidence rate di Indonesia itu jauh lebih rendah dari di Amerika," katanya, dalam diskusi dari bertema Jakarta dan Dunia Memerah Lagi yang digelar Populi Center, Sabtu, 29 Agustus.

Namun, Juhaeri meragukan data kasus COVID-19 yang dicatat pemerintah tersebut. Hal ini, karena dari segi jumlah penduduk Indonesia dan Amerika tidak jauh berbeda. Apalagi, katanya, Indonesia dan Amerika tergolong lambat dalam pemeriksaan kasus.

Di Amerika, kata Juhaeri, hasil pemeriksaan COVID-19 baru bisa diketahui 2 sampai 4 hari usai pengambilan sampel. Hal yang sama pun juga terjadi di Indonesia.

"Yang jadi masalah di Amerika adalah hasil tes itu enggak segera langsung ada. Jadi setelah di tes kita perlu nunggu 2, 3, 4 hari. Ya percuma. Karena pada saat itu dia sudah membawa virus itu kan, sudah menyebarkan," ucapnya.

Juhaeri mengatakan, ada perbedaan antara cara penanganan antara Indonesia dan Amerika, misal seperti kecepatan dan jumlah orang yang dites. Namun, kata dia, akurasi pemeriksaan spesimen COVID-19 dan intensitasnya di Indonesia tidak seperti di Amerika.

Lebih lanjut, Juhaeri mengatakan, data yang ditujukan pemerintah bisa saja tidak menunjukan hasil yang sebenarnya. Hal ini karena, mungkin tes yang dilakukan oleh pemerintah kurang masif.

"Ini urusannya panjang, bukan cuma karena kita memang tidak terpapar terlalu besar, tapi juga bisa karena tesnya kurang (masif), kurang akurat dan sebagainya," tuturnya.

Juhaeri mengatakan, jika incidence rate di Indonesia disimulasikan sama dengan di Amerika, maka kasus baru di dalam negeri bisa lebih tinggi dari yang tercatat sekarang ini, atau bahkan bisa mencapai lebih dari 4 juta orang sudah terinfeksi.

"Kalau kita asumsikan, sebetulnya peluang terpapar di Amerika dan Indonesia itu sama, kalau kita aplikasikan rate yang sama, di Indonesia itu bisa sampai 4,9 juta," tuturnya.