Bagikan:

JAKARTA - Pemerintah Kazakhstan menyebut kerusuhan yang menewaskan 164 orang yang terjadi belakangan hari ini adalah upaya perebutan kekuasaan yang didalangi anasir asing dan terorisme internasional.

Rusia yang berbatasan dengan Kazakhstan mengamini klaim itu, sedangkan media massa Barat menyebut kerusuhan itu justru menjadi indikasi adanya pertarungan kekuasaan dalam elite penguasa Kazakhstan.

Sementara sejumlah pemerintah negara Barat khawatir apa yang terjadi di Kazakhstan menjadi jalan bagi Rusia guna mengulangi manuver 2014 ketika Krimea di Ukraina dianeksasi dengan alasan melindungi minoritas etnis Rusia di Krimea.

Minoritas terbesar di Kazakhstan adalah etnis Rusia yang mencapai 19 persen dari total penduduk negeri itu. Umumnya berada di Kazakhstan utara.

Sama dengan Krimea yang menjadi tempat pangkalan Armada Laut Hitam Rusia, Kazakhstan juga sangat strategis bagi Rusia, salah satunya pusat peluncuran pesawat antariksa, Kosmodrom Baikonur.

Tak ada yang tahu persis apa yang terjadi, namun sejumlah kalangan berusaha menganalisis dengan lebih netral.

Di antara yang melakukan ini adalah Yevgeniy Zhovti, direktur Kazakhstan International Bureau for Human Rights, yang adalah tokoh HAM terkemuka di Asia Tengah.

Kepada Open Democracy, Zhovti, kerusuhan yang terjadi di negara penghasil uranium terbesar di dunia itu bermula dari protes atas kenaikan harga LPG di kota Zhanaozen di bagian barat negara itu pada 2 Januari, setelah pemerintah mencabut subsidi.

Dikutip dari ANTARA, Pemerintah Kazakhstan lalu mengirimkan delegasi yang diketuai wakil perdana menteri guna berbicara dengan warga Zhanaozen. Pemerintah berusaha menghindari terulangnya peristiwa 2011 ketika aparat keamanan menembaki pekerja minyak yang berunjuk rasa.

Pemerintah Kazakhstan menjelaskan bahwa kenaikan harga LPG ini karena harga sudah ditentukan mekanisme pasar. Warga tak terima karena beranggapan bagaimana bisa tergantung pasar kalau segala hal berkaitan BBM dimonopoli oleh pemerintah.

Protes pun berlanjut dan meluas ke kota-kota lain, termasuk Almaty yang sudah menjadi ibukota keuangan Kazakhstan.

Awalnya sebagian besar yang berdemonstrasi turun ke jalan sebagai solidaritas kepada Zhanaozen.

Dua kelompok kemudian muncul. Satu menyuarakan tuntutan oposisi pimpinan tokoh-tokoh seperti Mukhtar Ablyazov yang berada di pengasingan di luar negeri. Kedua, kelompok muda yang tergabung dalam gerakan sipil Oyan, Qazaqstan!

Kedua kelompok ini tak sekedar menuntut harga LPG diturunkan karena juga menuntut reformasi politik dan pembebasan tahanan politik.

Tetapi secara umum protes massa dipicu oleh kondisi sosial-ekonomi yang sulit, pandemi dan kebebasan berpendapat yang diberangus.

Sampai 4 Januari, demonstrasi berlangsung damai, namun keesokan harinya ketika kelompok muda yang umumnya dari kaum terpinggirkan di pedesaan, kondisi berubah panas sampai menimbulkan kekerasan yang kemudian menewaskan sejumlah petugas keamanan.

Undang Rusia

Kekerasan itu mendorong Presiden Kassym-Jomart Tokayev menyebut demonstran "teroris dan bandit", padahal apa yang dilakukan gerombolan anak muda ini persis seperti dilakukan kaum muda lainnya di dunia ini termasuk kaum muda Amerika Serikat yang ramai menuntut kesetaraan ras tahun lalu.

Tapi di mana-mana kaum muda selalu menjadi kelompok yang paling berani berkonfrontasi sekalipun menghadapi peluru tajam.

Di luar kelompok-kelompok itu ada kelompok yang terdiri dari para kriminal dan kaum radikal yang memanfaatkan situasi ini untuk merusak citra aman Kazakhstan.

Zhovti yakin dua massa terakhir ini yang memicu kerusuhan sekalipun membawa agenda masing-masing. Mereka menyerang polisi dan mencuri senjata. Kelompok kriminal sendiri disebut-sebut sengaja ditanam dalam gerakan demonstrasi oleh elite penguasa negara itu sendiri.

Menghadapi situasi yang sepertinya bakal tak terkendali, Presiden Tokayev lalu meminta bantuan organisasi regional negara-negara bekas Uni Soviet, Organisasi Perjanjian Keamanan Kolektif (CSTO).

Dia mengundang CSTO yang beranggotakan Rusia, Armenia, Kazakhstan, Kyrgyzstan, Tajikistan, dan Uzbekistan agar mengirimkan pasukan ke Kazakhstan guna memulihkan ketertiban. Tak lama kemudian, kontingen tentara Rusia berdatangan ke Kazakhstan.

Langkah ini langsung dikecam Barat, apalagi terjadi bersamaan dengan rencana pembicaraan krisis Ukraina antara Rusia dan AS.

Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken pun menyindir bahwa biasanya ketika Rusia mengirim pasukan ke sebuah negara maka nantinya akan sulit ditarik kembali. Rusia balas mengkritik bahwa AS juga begitu terhadap banyak negara termasuk Irak.

Rusia menegaskan kehadiran pasukannya di Kazakhstan sah karena berpegang kepada perjanjian internasional CSTO, bukan aksi unilateral seperti dilakukannya di Krimea delapan tahun silam.

Tapi pembelaan Rusia ini tak menghilangkan anggapan Barat bahwa Rusia bermain api di Kazakhstan dengan menyiapkan langkah untuk mengulangi apa yang sudah dilakukannya di Krimea.

Sementara China yang memiliki perbatasan sepanjang 1.800-an km dengan Kazakhstan berusaha hati-hati.

Belakangan ini, China dan juga AS, aktif berbisnis di Kazakhstan yang oleh Rusia dipandang halaman depannya persis terhadap Ukraina dan Belarus di Eropa timur.

Kazakhstan juga menjadi jalur paling aman China untuk terhubung dengan Eropa dalam bingkai Prakarsa Sabuk dan Jalan (BRI).

Tapi China pragmatis bahwa siapa pun yang menjamin stabilitas di Kazakhstan akan baik juga untuk China.

China juga percaya diri siapa pun yang berkuasa di Kazakhstan mustahil mau mengecualikan China. Negara ini berusaha menunggu dan sebagaimana biasa tak ingin terkesan campur tangan dalam urusan dalam negeri negara lain.

Tetapi jika dilihat lebih jauh lagi, koneksi Rusia-China-AS di Kazakhstan lebih merupakan akibat, ketimbang faktor yang melatarbelakangi kerusuhan.

Pertarungan kekuasaan

Justru ada konsensus di kalangan media bahwa kekerasan Kazakhstan lebih merupakan pertarungan kekuasaan dalam elite penguasa Kazakhstan, khususnya antara Presiden Kassym-Jomart Tokayev dan mantan presiden Nursultan Nazarbayev yang sebelum ini menjadi penguasa terselubung di balik Tokayev.

Tokayev memang orang pilihan Nazarbayev ketika tokoh yang selama tiga dekade memerintah Kazakshtan itu mundur pada 2019.

Itulah yang membuat banyak orang Kazahkstan menilai Tokayev disetir oleh Nazarbayev yang memang mengisi jabatan ketua Dewan Keamanan yang amat berkuasa di negara itu.

Entah demi membenarkan pertarungan kekuasaan atau demi menangkal tudingan menjadi pion Nazarbayev, Tokayev mencopot Nazarbayev dari jabatan ketua Dewan Keamanan tak lama setelah kerusuhan di Almaty.

Tapi Nazarbayev mengaku dia hanya mengundurkan diri demi memberi jalan kepada Tokayev untuk memulihkan ketertiban.

Faktanya pencopotan tidak berhenti pada Nazarbayev karena orang-orang dekatnya ikut dicopot, termasuk Karim Massimov, mantan tangan kanan Nazarbayev yang juga eks kepala dinas intelijen Kazakhstan. Tudingannya berat sekali; mengkhianati negara.

Tokayev sendiri terlihat terus mengonsolidasikan kekuasaan seolah ingin memupus bayang-bayang Nazarbayev.

"Saya kira banyak kalangan yang terus menilainya orang yang dicalonkan Nazarbayev, bahwa Nazarbayev ada di belakang dia dan memanipulasi dia," kata mantan perdana menteri Kazakhstan Akezhan Kazhegeldin kepada Reuters.

Mantan orang kepercayaan Nazarbayev yang berubah menjadi tokoh oposisi yang kini mengasingkan di luar negeri itu menilai Tokayev sekarang memiliki kekuasaan eksekutif penuh sehingga "harus mengambil komando".

Intinya selalu ada dimensi internal dan eksternal ketiga sebuah negara bergejolak, apalagi negara kaya energi dan sestrategis Kazakhstan.

Sehingga tak mungkin menjadi semata urusan internal Kazakhstan, apalagi negara ini berbatasan dengan raksasa seperti Rusia yang enggan melepaskan cengkeraman kepada sebagian besar negara-negara bekas Uni Soviet dan merasa berkepentingan dengan yang terjadi di negara-negara itu.

Tetapi persoalan Kazakhstan tak akan selesai hanya dengan membuat generalisasi bahwa pelaku protes bandit atau teroris.

Sebaliknya ketidakpuasan massa, khususnya terhadap keluarga Nazarbayev yang dianggap klan kleptokrat dan masih mengendalikan negeri ini, adalah hal yang juga harus dijawab pemerintah Tokayev dan sepertinya tengah dijawab.

Gejolak di negara di mana banyak pihak termasuk perusahaan multinasional pun berkepentingan di dalamnya, salah satunya raksasa minyak Chevron, memang selalu multidimensional.

Belum lagi resonansinya ke negara-negara Asia Tengah lainnya yang rata-rata diperintah rezim otoriter namun bisa menjamin stabilitas yang tak saja baik bagi kawasan sekitarnya tapi juga baik untuk negara-negara yang berkepentingan dengannya.

Dalam perspektif ini, gejolak Kazakhstan mungkin tak akan berkepanjangan karena Kazakhstan yang tidak stabil bakal merusak kepentingan yang lain termasuk tiga raksasa; Rusia, China dan AS.