Bagikan:

JAKARTA - Epidemiolog dari Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman angkat bicara soal pernyataan Juru Bicara Satgas COVID-19 Wiku Adisasmito yang menyebut kegiatan menonton bioskop dapat meningkatkan imunitas tubuh dalam menghadapi COVID-19 karena membuat masyarakat terhibur dan bahagia. Menurut Dicky, pernyataan itu belum ada literatur ilmiahnya.

"Tentang imunitas, menonton bioskop kemudian dikaitkan dengan pandemi saya belum menemukan literatur yang memperkuat argumen itu. Dalam sejarah pandemi, fakta yang ada sampai saat ini pun yang namanya kebahagiaan bukan sesuatu yang berdampak langsung pada upaya pengendalian pandemi," kata Dicky saat dihubungi VOI, Kamis, 27 Agustus.

Menurut dia, ada hal lebih penting untuk dilakukan pemerintah daripada membuka bioskop dengan dalih agar masyarakat bahagia. Menurut dia, pengendalian pandemi dengan cara melakukan isolasi dan perubahan perilaku lebih penting dilakukan saat ini apalagi angka kasus COVID-19 di Indonesia masih fluktuatif.

Apalagi, dalam tubuh manusia, kebahagiaan hanyalah bagian kecil dari unsur yang memengaruhi tubuh manusia. "Jadi unsur psikologi, kebahagiaan hanya bagian kecil dari unsur yang mempengaruhi imunitas," tegas dia.

"Bukan artinya ketika orang bahagia akan terhindar dari penyakit COVID. tidak ada buktinya. Negara yang paling bahagia di dunia, Skandinavia itu pun mengalami Covid. Malah Swedia yang ada di 10 besar (negara dengan tingkat kebahagiaan tertinggi, red) pun angka kematiannya tinggi. Jadi dasarnya tidak tepat," imbuhnya.

Lebih lanjut, Dicky juga menilai pembukaan kembali bioskop ini rentan menjadi klaster penyebaran COVID-19 yang baru. Kekhawatiran ini muncul karena masyarakat di Indonesia yang tak menaati protokol kesehatan untuk mencegah terjadi penularan virus ini dan cakupan pengujian terhadap individu di Indonesia juga masih belum memadai.

Kalaupun pemerintah tetap memaksa bioskop dibuka agar masyarakat bahagia, kata dia, ada beberapa opsi bisa diambil agar tidak muncul klaster bioskop. Pertama, kata Dicky, bioskop di dalam ruangan sebaiknya dipindahkan ke luar ruangan karena sirkulasi udaranya lebih memadai.

"Opsi pertama yang ideal adalah bioskopnya outoor. Bioskop outdoor seperti di luar negeri yang berada di kendaraan segala macam. Itu kalau mau ditujukkan sebagai hiburan. Sediakan hiburan yang outdoor, yang secara protokol kesehatan itu memenuhi," ujarnya.

Jika tak memungkinkan, bioskop bisa diminta untuk mengurangi kapasitas sebanyak 25 persen dari normal dan segala kegiatan jual beli harus dilakukan dengan sistem daring. 

Selain itu, penontonnya pun harus berdomisili dari daerah tempat bioskop tersebut. Tujuannya, ketika ada seorang penonton bioskop yang mengalami gejala COVID-19 maupun dinyatakan positif setelahnya maka penelusuran kontak bisa dengan mudahnya dilakukan bersama dengan Dinas Kesehatan setempat.

"Bila dalam dua minggu terkendali, (pembukaan bioskop, red) ini bisa diteruskan. Bila tidak harus dihentikan. Jadi harus ada evaluasi," ujarnya.

Sebelumnya, Satuan Tugas Penanganan COVID-19 mengizinkan pemerintah daerah untuk memperbolehkan pembukaan kembali bioskop di daerahnya. Padahal, beberapa waktu lalu, pengajuan pembukaan bioskop tidak diizinkan.

"Bioskop dan memang memiliki karakteristik penting dan kontribusi penting terutama dalam memberikan hiburan kepada masyarakat, karena imunitas masyarakat juga bisa meningkat karena bahagia," kata Juru Bicara Satgas COVID-19 Wiku Adisasmito di Graha BNPB, Jakarta Timur, Rabu, 26 Agustus.

Sedangkan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan berencana mengizinkan kembali pembukaan kegiatan pemutar film (bioksop) di masa PSBB transisi karena sejumlah alasan. Pertama, para penonton biasanya tidak saling bicara ketika menonton film di dalam ruang teater. Hal ini berbeda ketika berda di kafe dan restoran, di mana pengunjungnya mengobrol satu sama lain.

"Kalau di bioskop, justru semua diam. Kalau pun ada percakapan, maka percakapan itu antara orang yang kenal. Jarang ada percakapan dengan antara orang yang tidak kenal," ungkap Anies, Rabu, 26 Agustus.

Kemudian, ketika penonton mengobrol dengan orang yang dikenal, arah posisi mengobrol dilakukan satu arah. Semuanya berhadapan di arah yang sama, yakni menatap ke layar pemutar film. "Semuanya berbicara pada arah yang sama, bukan interaksi yang berhadap hadapan. Ini nature kegiatan yang agak unik," kata Anies.

Selain itu soal pengaturan tempat. Dalam kegiatan menonton film di bioskop, pengelola bisa mengatur di mana penonton akan duduk. Berbeda dengan pertunjukan terbuka, di mana ada potensi kerumunan karena tidak ada pengaturan tempat duduk.

"Ini mirip situasinya dengan penerbangan pesawat. Pesawat terbang itu ruangannya kecil, kemudian kursinya rapat, tetapi bisa diatur sitting arrangement-nya, pengaturan siapa duduk di mana, kemudian juga bisa diatur mengenai sirkulasi udaranya dengan menggunakan fasilitas-fasilitas yang sesuai dengan standar protokol kesehatan," jelas Anies.