JAKARTA - Pemerintah akan menaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT). Kenaikan ini akan diumumkan pada akhir bulan September atau di awal Oktober 2020 dan akan mulai berlaku pada 2021.
Dirjen Bea dan Cukai Heru Pambudi mengatakan, pemerintah akan mempertimbangkan sejumlah aspek untuk memformulasikan kenaikan tarif cukai rokok pada tahun depan. Pertimbangan yang dimaksud yaitu, faktor kesehatan, industri termasuk petani cengkeh dan tembakau, penerimaan itu sendiri dan adanya potensi rokok ilegal.
"Kalau secara historis biasanya kami, Kementerian Keuangan umumkan akhir September atau awal Oktober dan akan konsisten dengan sebelum-sebelumnya," katanya, dalam konferensi APBN KiTa, Jakarta, Selasa, 25 Agustus.
Heru menjelaskan, keputusan kenaikan tarif cukai rokok ini seiring dengan naiknya target penerimaan cukai di tahun 2021. Kata dia, penerimaan cukai di tahun depan akan naik sebesar 4,8 persen.
"Penerimaan cukai di tahun depan sebesar Rp172,8 triliun atau naik 4,8 persen dibandingkan tahun 2020 yang sebesar Rp164,9 triliun," tuturnya.
Sementara itu, realisasi penerimaan kepabeanan dan cukai mencapai Rp109,06 triliun atau sudah mencapai 53,02 persen dari target atau tumbuh sebesar 3,71 persen per akhir Juli 2020. Merujuk buku Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 2021, target penerimaan cukai tahun 2021 meningkat 3,6 persen dibandingkan outlook tahun anggara 2020.
Pada RAPBN tahun 2021, penerimaan cukai ditargetkan sebesar Rp178.47 triliun. Target penerimaan cukai di 2021, terdiri atas cukai hasil tembahau (CHT) sebesar Rp172,75 triliun, sisanya ditargetkan pada pendapatan cukai MMEA, cukai EA, dan penerimaan cukai lainnya sebesar Rp5,71 triliun.
Sebelumnya, pemerintah melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati telah menetapkan kenaikan cukai hasil tembakau dan harga jual eceran (HJE) di 2020. Ketentuan tersebut termuat dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 152 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas PMK Nomor 146 Tahun 2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau.
Aturan ini ditetapkan pada 18 Oktober 2019 dan diundangkan pada 21 Oktober 2019.
Kenaikan cukai dan batasan HJE rokok berlaku pada 1 Januari 2020, sebagaimana disebut pada Pasal II Ayat (2). Sementara pita cukai dapat dilekatkan paling lambat pada 1 Februari 2020 sebagaimana disebut pada Pasal II Ayat (1) Huruf (b) (ii).
Ada 8 jenis rokok yang diatur dalam beleid itu, baik buatan dalam negeri atau impor yang mana besaran cukai dan HJE rokok dimuat masing-masing pada lampiran III dan IV.
Pertama, untuk rokok buatan dalam negeri, beberapa di antaranya rokok Sigaret Kretek Mesin (SKM) golongan I dengan HJE paling rendah Rp1.700 dikenakan cukai Rp740 per batang atau gram, naik 25,42 persen dari Rp590.
Kedua, SKM golongan II untuk HJE lebih dari Rp1.275 dikenakan tarif sebesar Rp470 per batang atau gram, naik 22,08 persen dari Rp385. Untuk rokok HJE Rp1.020 hingga Rp1.275 dikenakan cukai sebesar Rp455 per batang atau gram, naik 22,97 persen dari Rp370.
BACA JUGA:
Ketiga, Sigaret Putih Mesin (SPM) golongan I dengan HJE paling rendah Rp1.790 dikenakan cukai sebesar Rp790, naik 26,40 persen dari Rp625.
Keempat, Sigaret Kretek Tangan (SKT) dan Sigaret Putih Tangan (SPT) golongan I dengan HJE lebih dari Rp1.460 dikenakan tarif cukai sebesar Rp425, naik 16,44 persen dari Rp365.
Kelima, Sigaret Kretek Tangan Filter (SKTF) dan Sigaret Putih Tangan Filter (SPTF) dengan HJE Rp1.700 dikenakan cukai sebesar Rp740, naik 25,42 persen dari Rp590.
Selanjutnya, untuk rokok impor jenis SKM dengan harga jual eceran sebesar Rp1.700 dikenakan cukai sebesar Rp740.
Ketujuh, Rokok SPM impor dengan harga jual eceran Rp1.790 dikenakan cukai senilai Rp790; Rokok SKT atau SPT impor dengan harga jual eceran Rp 1.461 dikenakan cukai sebesar Rp425. Rokok SKTF/SPTF dengan HJE Rp1.700 dikenakan cukai sebesar Rp 740.
Sementara itu jenis produk tembakau yang tidak membukukan kenaikan tarif cukai baru adalah tembakau iris, rokok daun, sigaret kelembek kemenyan, dan cerutu.