KPK Mengaku Kesulitan Dapatkan Dokumen Terkait Dugaan Korupsi Helikopter AW-101 dari TNI AU
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata (Foto; Dok KPK)

Bagikan:

JAKARTA - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata mengatakan ada sejumlah hambatan dalam mengusut dugaan korupsi AW-101 TNI Angkatan Udara (AU). Termasuk kesulitan dalam memperoleh dokumen yang dibutuhkan untuk melakukan pengusutan.

"Beberapa kali ketika kita berkoordinasi dengan pihak TNI waktu itu kita juga masih kesulitan mendapatkan dokumen-dokumen dari pihak TNI," kata Alexander kepada wartawan yang dikutip Kamis, 30 Desember.

Alexander tak memerinci dokumen apa yang sulit didapatkan dari pihak TNI. Dia bahkan mengaku tak mengetahui lebih lanjut apakah dokumen tersebut sudah diterima anak buahnya atau belum.

"Kita enggak tahu perkembangannya saat ini. Apakah dokumen itu sudah didapatkan atau belum," tegasnya.

Diberitakan sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut penyidikan dugaan korupsi helikopter AW-101 TNI Angkatan Udara (AU) telah dihentikan. Direktur Penyidikan KPK Setyo Budiyanto mengatakan TNI telah menghentikan pengusutan terhadap lima perwira yang jadi tersangka.

Adapun lima perwira tersebut adalah Wakil Gubernur Akademi Angkatan Udara Marsekal Pertama Fachry Adamy yang merupakan mantan pejabat pembuat komitmen atau Kepala Staf Pengadaan TNI AU 2016-2017.

Selain itu, ada juga Letnan Kolonel TNI AU (Adm) WW selaku mantan Pekas Mabesau; Pelda SS selaku Bauryar Pekas Diskuau; Kolonel (Purn) FTS selaku mantan Sesdisadaau; dan Marsekal Muda TNI (Purn) SB selaku Staf Khusus Kasau (eks Asrena KSAU).

"Masalah helikopter AW-101, koordinasi terkait masalah atau informasi yang berhubungan dengan pihak TNI sudah dihentikan penyidikannya," kata Setyo seperti dikutip dari KPK RI, Selasa, 28 Desember.

Sebagai informasi, pada bulan April 2016 TNI AU mengadakan pembelian satu unit helikopter jenis AW-101. Dalam pengadaan pembelian heli tersebut terdapat dua perusahaan yang mengikuti lelang yaitu PT Diratama Jaya Mandiri dan PT Karya Cipta Gemilang.

Kemudian, PT Diratama Jaya Mandiri keluar sebagai pemenang dan menaikkan nilai kontrak menjadi Rp738 miliar. Dari proyek pengadaan tersebut, dideteksi adanya selisih harga sebesar Rp224 miliar yang diindikasikan sebagai kerugian negara.