Bagikan:

BANDARLAMPUNG - Calon Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Kiai Haji Yahya Cholil Staquf mengajak nahdliyin untuk tidak sekadar memahami NU sebagai identitas karena organisasi ini didirikan membawa mandat peradaban.

Menurut Gus Yahya, sapaan akrabnya, jika hanya dipahami sebagai identitas, NU hanya jalan di tempat, dan baru bergerak jika diserang. Tidak ada langkah untuk mengejar suatu tujuan tertentu pada masa depan.

"Ini penting sekali untuk dipahami semua kader NU supaya siap untuk bergerak bekerja menjalankan agenda-agenda organisasi," ujarnya dalam Ngopi Bareng Gus Yahya di Bandarlampung dikutip Antara, Selasa, 21 Desember. 

Mantan anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) ini menyebut NU berdiri pada tahun 1926 usai kekhalifahan Turki Utsmani runtuh pada tahun 1924. Padahal, pada zaman itu, kekhalifahan Turki Utsmani menjadi model dunia keislaman.

Dengan runtuhnya kekhalifahan Turki Utsmani, kata Gus Yahya, dunia Islam kehilangan model peradabannya. Padahal, ratusan tahun sebelumnya mewarnai dan menjadi rancang bangun.

"Kemudian muncul revitalisasi, moderninasi Islam, lalu muncul kerajaan baru di Hijaz, Arab Saudi yang dipimpin Abdul Aziz bin Abdul Rahman Al Saud," katanya.

Salah satu pendiri NU, K.H. Wahab Chasbullah, yang sempat berada di Arab, menyatakan Arab Saudi tidak bisa dijadikan model sehingga akhirnya bersama-sama ulama di Tanah Air mendirikan NU.

"Kesimpulan deduktif saya, pendirian NU ini adalah upaya menemukan format peradaban baru. Pasti skalanya global sehingga lambang yang dipilih adalah lambang jagad, bola dunia," katanya menjelaskan.

Atas dasar itu, Gus Yahya yakin memang NU didirikan sebagai upaya merintis dan menemukan format peradaban yang baru untuk menggantikan format lama yang runtuh.

"Mandat NU adalah mandat peradaban. Sebuah mandat raksasa," tegasnya.

Gus Yahya pun mengajak kader-kader NU berani berpikir soal ini. Masalahnya, jika tidak, nanti hanya berebut remeh-temeh seperti yang selama ini terjadi.

"Maka, mulai sekarang harus membangun mentalitas dan mindset untuk berpikir soal mandat peradaban itu," ujarnya.

Apalagi, di generasinya ke bawah, hal ini bukan sesuatu yang sulit sebab sudah ada sosok yang memulai sehingga tinggal meneruskan. Sosok tersebut adalah K.H. Abdurahman Wahid (Gus Dur).

"Gus Dur sudah memulai. Pergulatan politik, pemikirannya sudah bisa kita lihat. Bahwa Gus Dur melakukan perjuangan peradaban," katanya.

Gus Yahya mengakui upaya untuk menjadikan NU sebagai model peradaban pada masa depan butuh perjuangan. Namun, dengan trigger (pemicu) yang kuat, komunikasi, dan kerja sama, semua itu bisa dilakukan.

"Saya sudah bertemu dengan sekitar 474 pengurus cabang se-Indonesia. Lalu terbangun kesepakatan. Bukan soal memilih ketua umum, melainkan sepakat untuk bekerja bersama membangun NU. Ini saja sudah sangat transformatif," katanya.

Dalam acara itu, Gus Yahya juga menyatakan maju terang-terangan sebagai Ketua Umum PBNU, bukan diminta.

"Saya nyalon (ikut pencalonan, red.) ketua umum, melamar pekerjaan. Pekerjaannya apa? Seperti yang saya jelaskan tadi. Bukan karena jadi ketua umum NU bisa nyalon presiden, nyalon wakil presiden. Itu saya tidak mau," katanya.